Dongeng Punakawan

On 06/08/2013 at 09:17 punakawan said: 

Nuwun,

Minangkani pamundhutipun Ki Singgih (On 3 Agustus 2013 at 11:04 Singgih said), at padépokan pêlangisingosari.

Nyuwun sèwu radi dangu. Matur nuwun kawigatosanipun Ki. sumånggå dipun rahabi

KI JURU KITHING

Ki Juru Kiting atau Ki Juru Kithing adalah salah satu putra dari Ki Juru Mêrtani yang Patih Mandåråkå di Kesultanan Mataram. Nama Kiting atau Kithing, diberikan oleh råmå-ibunya karena jari tangannya cacat (bahasa Jawanya: kiting).

Tidak banyak diketahui peran Ki Juru Kiting muda, dalam percaturan perpolitikan Mataram semasa Panembahan Senopati memerintah kerajaan itu.

Sêrat Babad Tanah Jawi agak “pelit” menyinggung tokoh yang satu ini, ketika Ki Juru Kithing semasa kecil hingga dewasa.

Peran yang sangat besar Ki Juru Kithing justru baru muncul saat Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung Adi Prabu Hanyåkråkusumå, (lahir: 1593 – wafat: 1645), sultan ketiga Kesultanan Mataram.

Sultan Agung, sebagaimana para pemimpin Nusantara sebelumnya, sebut saja Prabu Kertanegara dari Singasari yang hendak mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari dengan konsep Cakrawala Mandala Nusantara, kemudian Mahaprabu Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya Gajah Mada dari Majapahit, dengan Sumpah Tan Ayun Amuktia Palapa), maka Sultan Agung berkeinginan untuk mempersatukan Nusantara di bawah kedaulatan Kesultanan Mataram.

Berturut turut negara-negara kecil ditundukkan: Lumajang, sekutu Kadipaten Surabaya, ditundukan pada tahun 1614. Wiråsåbå sekarang Mojoagung, Jombang ditaklukkan pada tahun 1615. Surabaya dapat dihancurkan Mataram pada 1616, menyusul Lasem, Pasuruan 1616, Pajang yang memberontak, dikalahkan pada tahun 1617.

Untuk menundukkan Kadipaten Surabaya, Sultan Agung membendung aliran Sungai Mas untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan. Kekalahan Surabaya akhirnya terjadi ketika Sultan Agung memustus pasokan logistik dari Sukadana, Kalimantan (takluk 1622), dan Madura (takluk 1624).

Perang Puputan Madura

Perang Puputan Madura merupakan peristiwa yang heroik, perang para bangsawan Madura melawan kekuasaan Kesultanan Mataram, yang terjadi pada tahun 1624. Perang Puputan Madura ini berakhir dengan takluknya Madura terhadap Mataram.

Penaklukan Madura oleh Sultan Agung dimaksud sebagai batu loncatan untuk menggempur Surabaya yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Mataram.

Pangeran Rånggåsukåwati, adalah penguasa (sepuh) Madura, ketika terjadi penyerbuan Mataram ke Madura. Pangeran Rånggåsukåwati meskipun sudah berusia lanjut, masih turun ke medan perang untuk mendampingi putranya berperang.

Pangeran Rånggåsukåwati berperan memberi petunjuk-petunjuk kepada pasukan Pamekasan yang akan bergabung dengan pasukan Sumenep, Madegan, Blega, Arosbaya dan Kadipaten Mlojo.

Pada saat itulah, di tahun 1624 Sultan Agung mengirim pasukan tempurnya sebanyak kurang-lebih 500 orang untuk mendarat di pantai barat pesisir Bangkalan.

Pasukan perang Kesultanan Mataram dipimpin oleh Panglima Perang Pangeran Suyånå dan Pangeran Slårång. 6000 prajurit Madura mengadakan perlawanan.

Pertempuran berlangsung dengan sengit. Pada peristiwa ini Pangeran Suyånå, Pangeran Slårång dan 16 orang pemimpin pasukan Mataram gugur.

Mendengar pasukan Mataram kalah dan kedua panglima perangnya gugur, Sultan Agung berang.

Babad Tanah Jawi menceritakan:

| rusaking tiyang Matawis | nglurug Madurå | rusak kawon ing jurit ||…… kawone wong Matawis lêgêg sang sri narapati…..nuhun dukå narpati ||

Untuk membalas kekalahan itu, Sultan Agung memerintahkan kepada Panglima Tentara Nasional Kesultanan Mataram, yang sudah berusia lanjut bernama Ki Juru Kiting, yang wis lali ingsun ajurit (sudah lupa caranya berperang) | lan ora kêlar | lumaku kåyå dhingin || (dan tidak mampu berjalan seperti dulu lagi)

Selanjutnya Babad Tanah Jawi menceritakan agar Ki Juru Kithing bernagkat berperang ke Pamekasan:

yèn suwawi yèn kârså padukå nåtå | pun kaki Juru Kithing | tuwan lampahênå | dhatêng ing Pamêkasan.

Panglima Juru Kiting memang secara fisik sudah tua namun kemampuannya dalam menghadapi musuh masih bisa diandalkan. maka Ki Juru Kiting dan para prajuritnya disebut-sebut dengan julukan Macan Babal Tinulub Ing Watang (Harimau yang baru lepas dari kurungannya, disumpit dengan watang). maksudnya tegas: sangat galak.

prajurite wong Mataram kang narajang |…… | polahe lir macan | babal tinulub ing watang | wong Mataram anagahi | pan sampun pêjah

Dalam peristiwa penyerangan Madura itu Juru Kiting dikirim bersama ribuan pasukan Mataram, dan bergabung dengan sisa-sisa pasukan Mataram yang berada di tengah lautan.

Pada tahun 1624, Panglima Juru Kiting bersama pasukannya mendarat di pantai Madura Barat. Mereka akan membalas kematian rekan-rekannya yang gugur pada tahun 1623.

Untuk itu, ia tidak langsung melakukan serangan. Panglima Juru Kiting menyebarkan mata-mata terlebih dulu. Pada saat itu, pasukan Madura yang semula bersatu, ternyata menjaga daerahnya masing-masing sehingga Panglima Juru Kiting lebih mudah menghadapi mereka.

Serangan pasukan Mataram yang kekuatannya berlipat ganda itu tidak dapat ditahan oleh pasukan Madura.
Adipati Mlojo terbunuh di medan perang. Pangeran Mas Raja di Arosbaya melarikan diri ke Bantam. Oleh Sultan Bantam, ia diserahkan kepada Sultan Agung di Mataram kemudian dibunuh.
Adipati Blega melarikan diri tetapi kemudian ia tertangkap pasukan Mataram dan dibunuh di Jurang Rejo.

Pasukan Sumenep mempertahankan diri dengan keberanian yang tiada tandingannya. Karena musuh yang dihadapinya itu sangat besar, maka banyak pasukannya yang gugur.

Untuk mensiasati keadaan ini, Raja Sumenep Raden Abdullah yang bergelar Pangeran Cåkrånêgårå I, yaitu menantu Pangeran Rånggåsukåwati, meminta bantuan kepada Sultan Demak.

Namun malang nasibnya, sesampai di Palakaran Sampang, Pangeran Cåkrånêgårå I ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Mataram.

Sedangkan Raden Bugan, yaitu putranya yang masih berumur 3 tahun sempat dilarikan dan kemudian diserahkan kepada Sultan Cirebon oleh pengikutnya.

Raden Bugan dikirimkan ke Mataram untuk diberi pelajaran adat istiadat keraton. Pada akhirnya, Raden Bugan diperintahkan ke Sumenep untuk menduduki jabatan bupati di sana.

Di Pamekasan, Juru Kiting mendapat perlawanan hebat dari pasukan yang dibentuk oleh Pangeran Rånggåsukåwati. Dalam pertempuran mereka tak mengenal mundur walau selangkahpun.

Para prajurit pria di depan, sedang para wanitanya di belakang. Sebab bila ada pria di belakang, maka ia berarti lari dari medan perang. Untuk itu, wanita yang ada di belakangnya segera membunuhnya. Seluruh rakyat ikut berjuang dengan ketat, lebih baik mati daripada hidup dijajah.

Rakyat Keraton Pamekasan pantang mundur walaupun kekuatan musuhnya berlipat ganda. Dalam pertempuran itu, diantara mereka banyak yang gugur, termasuk Pangeran Rånggåsukåwati beserta para isterinya, Pangeran Purbåyå, Pangeran Jimat serta para abdi keraton.

Peristiwa penyerangan pasukan Mataram ke Pamekasan adalah perang sampyuh, disebut Perang Puputan Madura, perang habis-habisan.

Pada waktu itu, semua penguasa Madura gugur akibat perang ini. Satu-satunya keturunan Raja Madura yang masih hidup selain Raden Bugan adalah Raden Praseså yang masih di bawah umur. Raden Praseså dibawa dan diserahkan oleh Panglima Juru Kiting kepada Sultan Agung di Mataram. Ia diambil sebagai anak angkat, kemudian setelah dewasa diambil menantu.

Perkawinan Raden Praseså dengan putri Sultan Agung tidak berjalan lama karena isterinya meninggal dalam usia muda sebelum memiliki anak.

Raden Praseså pada akhirnya diangkat Sultan Agung menjadi Raja Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I.

Sumber penulisan:

1. _______________, Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka Betawi Centrem, 1939-1941, #1024 (Jilid 09). Kisah, Cerita dan Kronikal | Babad Tanah Jawi #1018. – Yayasan Lestari Agustus 2000.

2. Bambang Hartono HS, Sejarah Pamekasan: Panembahan Rånggåsukåwati Raja Islama Pertama di Kota Pamekasan – Madura. Nur Cahaya Gusti. Sumenep [Madura] 2001.

3. Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 – 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom. Perpustakaan Nasional.

4. Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa Media Ilmu Yogyakarta 2007.

5. Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008.

Semoga bermanfaat, segala kekurangan yang terjadi mohon dimaafkan.

Nuwun,

punåkawan

Laman: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52

Telah Terbit on 23/08/2013 at 13:37  Comments (27)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/dongeng-punakawan/trackback/

RSS feed for comments on this post.

27 KomentarTinggalkan komentar

  1. Kulo ndherek ngangsu kawruh Ki
    kepareng nyantrik wonten ngriki
    namung wonten semangat …..
    (kadose kok kawulo teksih piyambakan)

    • Dongeng Punakawan

      On 13/03/2014 at 07:53 punakawan said:

      Nuwun

      NEGERIKU NUSANTARA INDONESIARAYA (IV)
      © Punakawan Sang Botjah Angon

      ………………………………………………………………………………..
      …………………………………………………………………………………….
      …………………………………………………………………………………….

      ånå toêtoêgé

      Nuwun

      punåkawan

      Sumånggå Adimas Putut Risang ….Sumånggå Ki Punakawan……

      …kadose mpun titiwancine………menyambut hari jadi Kemerdekaan
      Negara Kesatuan Republik Indonesia…..

      ….hehehe……

  2. Sumånggå Ki

  3. Ki Haryo Paran mbotên piyambakan Ki, Ki Haryo Paran dipun réncangi 4 punåkawan Sêmar, Pétruk Garèng lan Bagong, ingkang imut-imut lan lucu lho. 🙂

  4. nggih Ki Puna, sambil menunggu babaring bagian 4, he he he …..

  5. Makin nyaman Ki Puna, dah punya gandhok sendiri.
    Matur nuwun….

  6. Lanjutannya belum ya Ki Puna?
    Gak apa2, enak di akhir pekan saja biar waktunya agak longgar untuk mencerna ceritanya.

  7. lintang kemukus…..
    klo disini dianggap simbol pageblug… klo dibarat sana dipercaya dpt mengabulkan harapan….

  8. Nyuwun Sewu.
    Kulo gadhah usul, menawi ki Punakawan kerso nglanjutaken caritho “Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan – SH Mintardja” engkang dereng paripurno.Setunggal meleh nyuwun ngapunten kalepatan kulo menawi usul kawula mboten dados ati kagem ki Punakawan lan kadang cantrik mentrik sedoyo. Matur suwun.

    • lho…..
      sampun wonten kok Ki Karijadi, silahlan kunjungi http://pelangisingosari.wordpress.com/HLHLP-119/ yang ditulis oleh Ki Kompor.

      jilid awal memang agak kaku, tetapi jilid-jilid berikutnya sudah mulai enak dibaca.

      tamat jilid 119, terus dilanjutkan dengan Sang Fajar Bersinar di Bumi Singosari, diteruskan dengan Kabut di Bumi Singosari, dan yang terakhir yang sedang berjalan, Tapak-tapak Jejak Gajah Mada, sedang jalan di jilid 5.

      coba diubek di http://pelangisingosari.wordpress.com

      • Katur Ki Karijadi,

        Matur nuwun kawigatosanipun Ki.

        Ada penulis dongeng berlatar belakang sejarah sebagai kelanjutan HLHLPnya Ki Dalang SH Mintardja, yang lebih mumpuni daripada saya Ki.
        Beliaunya sudah disebut oleh Adimas Putut Risang.

        Adapun saya cuman tukang gali tanah, yang sering tanya-tanya (sendiri :))

        Apa sih mangsudnya para orang-orang dulu bikin prasasti, candi, pyramid, umpak, patung lan sapituruté……….. mbingungi wong saiki

        Sumånggå Ki.

        Nuwun

        punåkawan

        • Salam Puji Syukur.🙏🙏🙏.

          Satu Pertama dan Satu Terakhir.

          Berjudul:
          “Aku bertanya KepadaKu tentang Satu Bahasa yang Tak Pernah dimengerti oleh Aku dan Mereka”

      • oh nyuwun ngapunten kawulo, ngertosepun gandok adbm kalehan gadhahipun ki punakawan. matur suwun

        • @ Ki Karyadi,

          Yang bahurêkså gandhok bukan saya Ki. Saya cuma seorang punåkawan.

  9. Alhamdulillah, dah punya gandok sendiri…
    daripada di protes terus…

    • senyum 🙂

      bukan diprotes kok jeng

      • ikutan senyum 😛 😛 😛

        • Saya sangka Adimas Putut Risang mau ikutan protes senyum lho.
          Tibaké malah ikutan senyuummmmmmm.

          Kalau senyum sudah diprotes juga. Lha gimana yaaaa
          Hiks…..

          • Kalau senyum diprotes, mendingan ketawa sekalian Ki Puna, he he he …..

  10. Nuwun

    Matur nuwun Dimas Risang, rontal-rontal sudah ditempatkan di tempatnya.

    Kepada sanak kadang, rontal-rontal tulisan saya ini bebas dicopy-paste, dan nggak usah mbayar, gratissss, asal dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk sesama.

    Untuk diketahui saja, bahwa di gandhok maya sini, gratis, ngopynya juga nggak memerlukan waktu lama.

    Berbeda dengan di dunia nyata, untuk “ndongeng” satu episode memerlukan waktu lama, bisa setahun atau lebih, lagi pula nggak gratisan, sebab kalo ndongeng, punåkawan dibayar mahal (mbayarnya pake uang juga). 🙂
    Tapi di sini punåkawan nggak minta bayaran. Sungguh !!!

    Nah åpå ora kêpénak di sini.

    Sumånggå

    Nuwun

    punåkawan

    • maturnuwun ki puna… moga keikhlasan ki puna mendapatkan pahala yg berlimpah…

    • Ngapunten rontal-rontal yang sudah ditempatkan ditaruh dimanakah oleh Dimas Risang🤭

      Sudah lama tidak muncul semoga Ki Punakawan tetap sehat nggih🙏

  11. maturnuwun ki puna… moga keikhlasan ki puna mendapatkan pahala yg berlimpah…

  12. kula nuwun ki puna… kok sudah lama nggih ki puna tidak rawuh dhateng padepokan?
    apakah sedang sibuk ?
    mdh2an ki puna selalu dalam keadaan sehat wal afiat…

  13. matur nuwun kagem :
    Ki Punakawan
    lan
    jajaran pengasuh blog gagakseta.

    kulo nderek ijin ngangsu kawruh elmu sejarah
    ingkang adiluhung. mboten sembarangan tiyang saget ngaturaken kados ki Punakawan.
    ilmiah sanget.

  14. Hayu, Hayu, Hayu ….
    Mohon maaf saya pakai bahasa persatuan bahasa Indonesia dikarenakan perbendaharaan bahasa Jawa saya yang masih sangat kurang, meskipun saya asli tiyang Jawi, hehehe…. takutnya nanti jadi kurang sopan.
    Saya sangat mengapresiasi sekali tulisan2 di blog ini. Sejak lama sebenarnya saya sudah mengikuti blog ini (dan juga blog ADBM dan PDLS), namun sebatas sbg silent reader kemawon, terutama untuk mendownload koleksi buku2nya alm SH Mintardja (sebatas untuk koleksi bacaan pribadi). Melalui komen ini saya ingin berterima-kasih yang sebesar2nya. Ngapunten baru sekarang sempat mengucapkannya (menulis komen tepatnya).
    Sekaligus juga dengan ini saya mohon ijin untuk mengcompile tulisan2 pribadi panjenengan yang ada di sub-menu “Dongeng Punakawan”, saya jadikan satu file utuh ebook (format epub). Tentu saja masih dengan komitmen beretika untuk tidak mengkomersialkannya, hanya sebatas untuk koleksi pribadi, agar mudah bagi saya untuk membacanya lagi secara offline di kemudian hari
    Mekaten…
    Semoga berkenan

  15. Nderek ngangsu kaweruh…..mugi pinaringan kawilujengan lan kabegjan sedoyo


Tinggalkan komentar