TADBM-411

<< kembali ke TADBM-410 | lanjut ke TADBM-412 >>

TADBM-411

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 27/07/2015 at 00:01  Comments (1.995)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/tadbm-411/trackback/

RSS feed for comments on this post.

1.995 KomentarTinggalkan komentar

  1. Sugeng siang Mbah_Man, Ki Satpam dan Sanak kadang sedoyo….
    Matur nuwun rontal hadiah Libur Pilkada-nipun Panembahan…

    Semangat… Lha wong libur aja rontal diwedhar, apalagi ga libur. Hahaha….

    • Sugeng siang….
      Sepertinya mbahMan sedang siap” menutup buku TADBM 411.

      • jadi sekarang selain semangat juga siap siap ya Ki …. siap siap nerima rontal …….

  2. Sugeng dalu kadang Cantrik Mentrik…
    Sinten nggih ingkang ronda dalu puniko?

    == mati lampu, iseng2 nyalami sanak kadang ==

    • Saya ikut ronda ki joe…
      Disini lampu barusaja dinyalain lagi…he..he..
      Kelaparan…gak ada makanan. Stok cuma mie aja.

  3. Saya ikut ronda ki joe…
    Disini lampu barusaja dinyalain lagi…he..he..
    Kelaparan…gak ada makanan. Stok cuma mie aja.

  4. Hadir, Jum’at Mubarak, selamat, sejahtera, rahmat dan barakah untuk para Cantrik dan Mentrik ….. tetap barakah !

  5. Orang-orang yang berdiri di seputar arena perang tanding itu menjadi semakin berdebar-debar menanti akhir dari perang tanding itu. Bahkan Ki Jayaraga dan Ki Argapati yang telah yakin akan keadaan Ki Patih masih juga dihinggapi rasa was-was. Sementara Ki Lurah Mandurareja dan Ki Lurah Upasanta telah menggenggam tangkai senjata mereka erat-erat. Bagaimana pun juga, Ki Patih adalah Eyang mereka yang sangat mereka cintai dan hormati. Keduanya telah berjanji dalam hati, jika sesuatu terjadi pada Eyang mereka, mereka telah memutuskan untuk menyabung nyawa dengan orang yang menyebut dirinya keturunan dari perguruan Nagaraga itu.

    Dalam pada itu di pinggir hutan yang masih lebat yang bersebelahan dengan padang perdu dekat pemakaman padukuhan induk, hampir tidak tampak oleh mata wadag, dua orang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon besar yang tumbuh menjulang di pinggir hutan.

    “Mengapa Ki Ajar tiba-tiba saja menjadi seperti kanak-kanak yang cengeng?” seorang yang berperawakan tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya berdesis perlahan, “Apa untungnya mengulur-ulur waktu hanya untuk membunuh seorang Juru Mertani?”

    Kawannya yang di sebelahnya tertawa tertahan. Jawabnya kemudian, “Apa engkau belum mengenal sifat Ki Ajar yang sebenarnya? Dia terbiasa mempermainkan korbannya terlebih dahulu sebelum membunuhnya. Agaknya kali ini pun dia ingin menikmati kegemarannya itu.”

    “Aku menjadi tidak telaten!” geram orang yang pertama, “Sebaiknya Ki Ajar segera membunuh orang dari Sela itu agar kita dapat segera tampil di medan untuk membantunya mencabut nyawa cecurut-cecurut Mataram.”

    Kawannya yang berdiri di sebelahnya tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala. Katanya kemudian, “Yang harus dibunuh setelah Juru Mertani adalah Mas Rangsang. Dengan demikian akan putuslah trah Mataram dan selanjutnya trah Sekar Seda Lepen yang akan merajai tanah Jawa ini.”

    Orang yang bergelang besi itu mengerutkan keningnya sambil berpaling. Dengan sedikit ragu-ragu dia mengajukan pertanyaan, “Bagaiman dengan Mas Wuryah?”

    “Ah! Pangeran bebal itu? Pangeran yang satu itu sama sekali tidak masuk hitungan Eyang Guru. Jangankan memikirkan pemerintahan Mataram, untuk mengenali diri sendiri saja Mas Wuryah tidak akan mampu.”

    Orang yang bergelang besi itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika tanpa disadarinya dia telah berpaling ke belakang, pandangan matanya yang tajam itu segera saja mengenali beberapa orang yang sedang bersembunyi di antara lebatnya pepohonan dan pepatnya gerumbul gerumbul semak belukar.

    “Lima belas orang,” desisnya kemudian.

    Kawannya tersenyum. Katanya kemudian, “Sudah lebih dari cukup. Kita akan membebaskan Jabung dan kawan-kawannya terlebih dahulu sebelum membunuh orang-orang Mataram, sehingga kekuatan kita akan bertambah.”

    Orang yang bergelang besi itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk.

    • Alhamdulillah….

      pagi-pagi sudah tersedia rontal untuk sarapan

      matur suwun Panembahan

      • satu rontal lagi yang agak panjang (kalau seperti yang sekarang, nangggung) cukup untuk menutup jilid 411.

        monggo Panembahan

    • Matur suwun sanget mbah Man …enjing2 sampun disarapi rontal

    • Matur nuwun mbah Man…

    • Matur nuwun Mbah_man

    • Matur nuwun Mbah_Man, Jum’at Mubarak …..

    • Nuwun mbah

    • Horee serontar lagi buka gandok baru, matur nuwun mbahman…

    • matur nuwun sanget mbah man …. jumat barokah ..,,, mau berangkat sholat jumat mampir gandhok weee sampun wonten wedaran ….. matur nuwun mbah ….

    • Matur nuwun Kiai Haji Panembahan….
      Habis jumatan nengok gandhok ada rontal mBahe… Mak Cesss…

      Setuju Ki Satpam. Hari ini turun rontal yang agak panjang untuk menutup Jilid 411 ini. Yesss….

  6. matur nuwun mbah wedaran enjang

  7. Nderek matur nuwun ugi.

  8. “Agaknya perhitungan Eyang Guru mendekati kebenaran,” berkata kawannya itu kemudian sambil berpaling ke belakang mengamati-amati orang-orangnya yang sedang bersembunyi, “Ki Ajar dan murid-muridnya ternyata telah terlambat dan tidak sempat bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Adalah sangat mengherankan ketika kita beserta beberapa orang telah diperintahkan oleh Eyang Guru untuk menyusul Ki Ajar. Eyang Guru mungkin memperhitungkan sifat Ki Ajar yang keras kepala yang ingin melampiaskan dendam perguruan Nagaraga kepada keturunan Panembahan Senapati, apapun yang terjadi. Sayang, kedatangan kita pun juga terlambat untuk bergabung dengan Ki Ajar. Kita datang ketika perang tanding itu telah berlangsung.”

    Kembali orang bergelang besi itu tidak menjawab, pandangan matanya tetap saja lurus ke depan, ke arah tanah pekuburan. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Bahkan tanpa disadarinya dia telah maju beberapa langkah agar dapat lebih jelas melihat apa yang sedang terjadi di arena perang tanding.

    Kawannya yang melihat orang bergelang besi itu maju beberapa langkah menjadi terkejut. Dengan tergesa-gesa dia segera menyusul. Namun baru saja dia mengayunkan langkah, terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari arah tanah pekuburan.

    “Gila!” tiba-tiba orang yang bergelang besi itu mengumpat keras, “Apa yang sebenarnya telah terjadi, he..?”

    Kawannya dengan ragu-ragu dan sedikit memicingkan mata mencoba untuk mengamat-amati apa yang sedang terjadi di arena perang tanding itu. Alangkah terkejutnya dia ketika pandangan matanya tidak lagi menangkap sosok Ki Ajar yang berdiri tegak dengan tangan kiri mengangkat keris pusakanya tinggi-tinggi. Ki Ajar tidak tampak lagi di medan perang tanding, yang tampak hanya lah Ki Patih yang rebah di atas tanah serta beberapa orang yang tampak sedang mengerumuninya.

    “Kemana Ki Ajar?” tanpa sadar pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

    Orang yang bergelang besi itu menggeram keras sambil mengeluarkan sebuah umpatan yang sangat kotor. Kemudian sambil berpaling ke arah kawannya yang telah berdiri di sebelahnya dia berkata setengah membentak, “Itulah akibatnya kalau Ki Ajar terlalu menuruti hawa nafsunya. Ki Ajar harus membayar kelengahannya dengan nyawanya!”

    Kawannya terkejut. Dengan jantung yang berdebaran dicobanya sekali lagi mengamati arena perang tanding. Ketika tampak beberapa prajurit berlari-larian menuju ke sebuah gerumbul yang agak lebat, barulah dia melihat samar-samar seseorang telah tertelungkup yang sebagian tubuhnya berada di dalam semak belukar.

    “Ki Ajar kah itu?” tanyanya kemudian dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya, “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?”

    Orang yang bergelang besi itu sekali lagi mengumpat. Kemudian sambil bergegas melangkah ke dalam hutan dia berkata, “Tidak ada gunanya lagi kita berada di sini. Membuang-buang waktu saja. Lebih baik kita segera kembali dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini.”

    Sejenak kawannya masih berdiri termangu-mangu. Ada sebersit keraguan di dalam hatinya bahwa seseorang yang tertelungkup itu adalah Ki Ajar. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana mungkin Ki Ajar yang sudah tampak menguasai lawannya itu justru telah terbunuh. Namun ketika para prajurit telah mengangkat tubuh yang tertelungkup itu dan membawanya ke tempat yang agak lapang, barulah dia yakin bahwa tubuh yang sudah tak bernyawa itu adalah Ki Ajar.

    “Gila!” sekarang giliran orang itu yang mengumpat.

    Untuk beberapa saat dia masih menunggu perkembangan. Ketika dia kemudian berpaling ke belakang, tampak orang yang bergelang besi itu bersama-sama dengan yang lainnya telah meninggalkan tempat.

    “Agaknya Ki Ajar telah salah perhitungan,” berkata orang itu dalam hati sambil melangkah menyusul kawan-kawannya, “Ki Ajar begitu yakin dengan kekuatan racun yang terdapat di pisau belatinya. Ternyata Ki Juru Mertani sangat cerdik dan telah berhasil mengelabui Ki Ajar.”

    Ketika langkahnya hampir mencapai hutan yang masih cukup lebat itu, tiba-tiba saja langkahnya telah terhenti. Sejenak dia berpaling ke arah tanah pekuburan, namun kemudian langkahnya pun kembali terayun menyusul kawan-kawannya yang telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.

    “Eyang Guru pasti akan memanggil keris Kanjeng Kiai Sarpasri itu kembali,” berkata orang itu dalam hati, “Aku tidak perlu mencarinya.”

    Demikian lah akhir dari perang tanding itu. Ki Ajar ternyata telah salah perhitungan dalam menilai sikap Ki Patih. Yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan Ki Ajar Serat Gading. Belum sempat dia menghentakkan puncak ilmunya melalui keris Kanjeng Kiai Sarpasri di tangan kirinya yang telah diangkatnya tinggi-tinggi, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Ki Patih telah menghentakkan puncak ilmunya lewat kedua tangannya yang teracu kedepan.

    Ki Ajar yang sudah merasa akan segera dapat mengakhiri perang tanding itu dengan mudah, ternyata telah dikejutkan oleh selarik cahaya kebiru-biruan yang meluncur mengarah ke dadanya.

    Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Ki Ajar untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya hanyalah menghimpun tenaga cadangannya setinggi-tingginya untuk melindungi tubuhnya dari kehancuran.

    Sejenak kemudian terdengar sebuah ledakan dahsyat di tanah pekuburan itu. Tidak terdengar sebuah keluahan pun dari mulut Ki Ajar. Tubuh Ki Ajar itu bagaikan terdorong oleh sebuah kekuatan raksasa dan terlempar ke belakang beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh terpuruk di antara semak dan belukar. Sementara keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang berada di tangan kirinya telah terlempar entah ke mana.

    bersambung ke TADBM 412

    • Matur nuwun mBah-Man Gusti engkah mbales :)) :))

    • matur nuwun mbah …. kembali dari sholat jumat disambut dobel wedaran …..mantaaaap mbah …..

      • Matur nuwun mbahman, sehat selalu…
        Ditenggo TADBM 412 ipun…

    • Matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka, tamatlah sudah TADBM 411 ….

    • Matur nuwun mbah Man

    • Matur nuwun mbah Man

  9. Matur nuwun mbah Man …. sugeng sonten poro sedherek…

  10. jooossssssssssssss gandhossssssss…..

  11. Sugeng ndalu sedoyo …… semoga weekendnya menyenangkan ….. semanggatttt pastinya ….

  12. matur nuwun mbah-Man
    sampai jumpa di gandok 412
    asyyiiikkkk

  13. TADBM-411 sudah ditutup siang tadi.
    Jilid ini terselesaikan selama 4 bulan 14 hari dengan jumlah komen 1985 (sampai jam sebelum komen ini) yang merupakan rekor komen terbanyak dalam satu jilid.
    Meskipun lama, terima kasih kepada sanak kadang yang telah setia dan sabar menunggu wedaran demi wedaran rontal.

    Dan…., gandok TADBM-412 sudah dibuka.
    sumonggo….
    tikar digulung untuk dipindah tempat bergojeg baru di gandok 411.

    • monggo rame-rame kita ke gandhok baru

  14. syiap pindahan ke gandhok baru……………

  15. matur nuwun sangetttt Mbah Man….mugi pinaringan sehat selalu…tetap semangat berkarya…

  16. Matur nuwun Mbah…..

  17. Wah wis ketinggalan adoh

  18. sugeng dalu sanak kadang sedoyo
    inguk gandok
    ngancani pak Satpam jogo gardu

  19. Sangat menarik


Tinggalkan komentar