TADBM-406

<< kembali ke TADBM-405 | lanjut ke TADBM-407 >>

TADBM-406

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 06/06/2014 at 18:52  Comments (1.421)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/tadbm-406/trackback/

RSS feed for comments on this post.

1.421 KomentarTinggalkan komentar

  1. Alhamdulillah, mbah_man wes dangan.
    Harak inggih mekaten to mbah…..?

    • Mbah_man wes dangan.
      Harak inggih mekaten.

      Berarti Harak nggih sampun dangan, lha Harak niku sinten nggih Ki mBleh

      • Harak niku asring dhawah sami wilujeng.
        Lha mannga dipun bethek, wilujeng niku sinten.

  2. Alahamdulillah..sehat selalu mbah_man ,terus semangat

  3. KLONENG KLONENG KLONENG, . . . . . . . . . Sapa sing kloneng kloneng, . . . . . . . . Kula Kebo Lading, . . . . . . . . Ana keperluan apa deneng kloneng kloneng, . . . . . . . . . Bade tilik si Mbah Man jerene mpun dhangan, . . . . . . . .. . . Ya wis mlebu bae, theklek-e dinggo bae ora papa, . . . . . . . . kuwe nggawa apa deneng banene repot temen, . . . . . . . .. . . . nggih niki mbekto degan krambil ijem, toyane jere ngge mbucal racun, kalih bubur Menado sak-kendile saged kangge dahar 3 dinten, kalih woh-wohan klangenane si Mbah, . . . . . . . Ya wis ngeneh tek rewangi nggawa aring senthonge si Mbah.

    • O…. monggo Ki Truno, katuran pinarak
      simbah nembe istirahat

      he he he …., sugeng siang Ki Truno Podang

  4. Lanjutan TADBM 406

    “Nah,” berkata Ki Ajar Wiyat setelah berhadapan dengan KI Gede Menoreh dan Empu Wisanata, “Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya, namun menilik ciri ciri yang aku dengar, Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu adalah seorang sakti yang bersenjatakan sebuah tombak pendek,” Ki Ajar Wiyat berhenti sejenak, Lalu, “Sedangkan Ki Sanak yang satunya ini aku tidak tahu dan memang aku tidak ingin tahu siapakah Ki Sanak ini? Yang jelas aku, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel hanya ingin menantang Ki Gede Menoreh yang sangat dibangga banggakan oleh para pengawalnya itu dalam sebuah perang tanding untuk membuktikan kebesaran namanya.”

    “Aku tidak merasa mempunyai nama besar, Ki Ajar,” sahut Ki Gede Menoreh cepat, “Mungkin tanggapanmu sajalah yang terlalu berlebihan. Adapun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyambutku dengan gegap gempita itu adalah hak mereka dan memang sudah sewajarnyalah seorang pemimpin itu dicintai dan dibanggakan oleh anak buahnya.”

    “Alangkah sombongnya,” geram Ki Ajar Wiyat, “Aku harap kesombonganmu itu sepadan dengan nyalimu untuk menerima tantanganku berperang tanding.”

    “Ki Ajar,” jawab Ki Gede tenang, “Seseorang akan menerima sebuah tantangan untuk berperang tanding itu tentu ada sebabnya. Tidak mungkin tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan kemudian seseorang dengan mudah melontarkan sebuah tantangan untuk berperang tanding kepada orang lain. Apalagi ini adalah dalam sebuah pertempuran. Kita tidak dapat menentukan siapakah yang akan menjadi lawan kita? Siapapun yang berdiri dihadapan kita dan menyerang kita, itulah lawan kita.”

    “Omong kosong!” bentak Ki Ajar Wiyat, “Itu hanya alasan bagi para pengecut. Terserah, apakah engkau akan mengajak kawanmu itu atau engkau cukup mempunyai nyali untuk menghadapiku sendirian, aku tidak peduli. Akan aku bunuh setiap orang Menoreh, kemudian orang orang Mataram yang sombong itu pun tidak akan luput dari tangan mautku.”

    “Ki Ajar memang orang luar biasa,” berkata Ki Gede Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepala menanggapi sikap lawannya, “Aku berjanji untuk menghadapimu sendirian namun itu bukan berarti bahwa aku menerima tantanganmu untuk berperang tanding. Namun sebenarnyalah tenagaku yang tua ini aku rasa masih lebih dari cukup kalau hanya untuk menghadapi Ki Ajar. Tidak perlu seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini atau bahkan para prajurit Mataram bersama-sama mengeroyokmu seperti laku anjing anjing pemburu yang saling berebut hanya untuk mengejar seekor tupai.”

    “Gila!” umpat Ki Ajar Wiyat sambil menggeretakkan giginya, “Ternyata Kepala Perdikan Menoreh yang mempunyai nama besar itu tak lebih dari seorang pembual,” dia berhenti sejenak. Kemudian sambil meloloskan senjatanya yang berupa sebilah keris luk sebelas namun yang berukuran melebihi kewajaran, dia bergeser selangkah ke samping sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah Ki Gede. Mungkin engkau masih bisa keluar dengan selamat dari beberapa pertempuran sebelum ini, namun kali ini aku sarankan engkau segera memikirkan cara yang terbaik untuk melarikan diri sebelum ujung senjataku ini merobek dadamu.”

    Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Dia hanya menarik nafas dalam dalam sambil berpaling ke arah Empu Wisanata yang sedari tadi hanya berdiri termangu mangu di sebelahnya. Katanya kemudian, “Sebaiknya Empu Wisanata mencari lawan yang sepadan dengan tataran ilmu yang Empu kuasai. Biarlah Ki Ajar yang memiliki angan angan terlalu tinggi ini menjadi lawanku.”

    “Tutup mulutmu!” bentak Ki Ajar Wiyat, “Kalian berdua dapat maju bersama-sama untuk melawanku. Aku tidak akan gentar, akan tetapi sebaliknya kalian berdua lah yang akan menyesal karena dengan menghadapi dua lawan sekaligus aku terpaksa mengeluarkan ilmu puncakku yang kedahsyatannya tidak akan pernah terbayangkan oleh kalian berdua. Ilmu yang apabila ditrapkan dapat mengakibatkan sebuah gunung menjadi runtuh dan lautan akan mengering.”

    “Luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepalanya, sementara Empu Wisanata hanya tersenyum masam sambil berlalu dari tempat itu.

    “He!” teriak Ki Ajar Wiyat begitu menyadari Empu Wisanata berlalu dari hadapannya, “Jangan lari pengecut. Aku akan membunuhmu sekarang juga.”

    Selesai berkata demikian Ki Ajar Wiyat segera membuat ancang-ancang untuk meloncat memburu Empu Wisanata yang telah meninggalkan tempat itu beberapa langkah. Namun ternyata Ki Gede Menoreh tidak tinggal diam, dijulurkannya ujung tombak pendeknya menghadang tepat di depan Ki Ajar Wiyat sehingga pemimpin perguruan dari Tumapel itu segera mengurungkan niatnya untuk meloncat menyerang Empu Wisanata.

    “Ki Ajar,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil menarik tombak pendeknya kembali ke depan dada setelah melihat Ki Ajar Wiyat kembali pada kedudukannya semula, “Engkau tidak usah mengejar Empu Wisanata. Di sini aku sudah siap melayanimu walaupun mungkin diperlukan waktu tiga hari tiga malam untuk menundukkanmu.”

    • matur nuwun Mbah_Man…

    • Mbah_Man dah sehat betulan kah…. mentrik cantrik kangen semua lhoooo

      • mbak Ony, embah belum jadi operasi empedu. gula darah masih 272. diberi obat jalan dan obat penurun gula darah. minggu depan check lagi.
        matur suwun atas perhatiannya

        • Matur nuwun mbah_man, ternyata belum jadi operasi ….. mudah-mudahan segala sesuatunya berjalan sesuai dengan harapan mbah_man dan segera sehat kembali tentunya ….

          • amieeeen YRA

    • Hups….
      baru datang
      Alhamdulillah sudah jatuh lagi satu rontal
      dan….
      ternyata simbah belum jadi operasi
      hhmmm…………..

      okeylah kalau begitu

      bade matur mbah
      sudah bolehkan rontal 406 ditutup?
      kurang sedikit sih, tetapi jika ditambah satu rontal lagi, maka halaman akan kepanjangan.
      kalau sudah boleh, Risang siap buka gandok 407

      nuwun

  5. matur nuwun mbah..semoga paring sehat dan bisa berkumpul kmbali dengn cantrik dan mentrik semua..

    • Aamiin…. YRA

      • @Anakmas Risang..
        akan embah coba nambah setengah rontal saja, baru pindah gandhok 407. Mohon ditunggu..
        matur suwun

  6. Hadir, mengisi daftar hadir, dilanjutkan mubeng gandok dan tetap berdo’a untuk kesembuhan mbah_man ….. tetap semangat !

  7. Lanjutan TADBM 406

    “Persetan dengan bualanmu. Engkau jangan bermimpi dapat melawanku selama tiga hari tiga malam, karena aku hanya memerlukan waktu tidak lebih dari sepenginang untuk membunuhmu,” berkata Ki Ajar Wiyat sambil mulai menggerakkan kerisnya yang berukuran melebihi dari ukuran sewajarnya.

    Agaknya Ki Gede Menoreh tanggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk mengulur waktu begitu melihat lawannya sudah mulai menggerakkan senjatanya. Dengan bertumpu pada pangkal tombak yang tergenggam erat di tangan kanannya, tangan kirinya pun mulai menggerakkan ujung tombak itu lurus kedepan siap untuk mematuk dada.

    “Sekali lagi aku peringatkan Ki Gede,” berkata Ki Ajar sambil menggeser kaki kirinya selangkah ke samping, “Aku tidak akan mulai dari tataran bawah, namun aku akan langsung menyerang dengan menggunakan tataran tinggi dari ilmuku. Namun jangan khawatir, tataran ini masih cukup jauh dari puncak ilmuku sehingga Ki Gede kemungkinannya masih dapat mengimbangi beberapa saat.”

    Ki Gede hanya menarik nafas dalam dalam mendengar kata-kata lawannya yang sangat jumawa itu. Namun dengan demikian Kepala Perdikan Menoreh itu semakin meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi lawan yang belum diketahui tingkatan ilmunya.

    Sejenak kemudian, ketika dengan dahsyatnya keris luk sebelas itu meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara mengarah ke jantung Ki Gede, dengan sedikit menarik kaki kirinya ke belakang, Ki Gede mencondongkan tubuhnya sedikit ke kanan. Kemudian dengan gerakan memutar ujung tombaknya mencoba melibat tangan lawannya yang menggenggam keris.

    Ki Ajar menyadari sepenuhnya bahwa Ki Gede akan mencoba melepaskan keris di tangannya itu pada benturan pertama. Namun Ki Ajar yang sudah banyak makan asam garamnya pertempuran itu tentu saja tidak akan membiarkan kerisnya terlepas. Dengan menarik kerisnya ke samping kanan sehingga libatan ujung tombak itu mengenai tempat kosong, ujung keris itu tiba tiba telah berubah arah menyambar ke arah lambung kiri Ki Gede yang terbuka.

    Mendapat serangan susulan seperti itu Ki Gede Menoreh tidak menjadi gugup. Ketika libatan ujung tombaknya mengenai tempat kosong, dengan cepat ujung tombak itu pun berubah arah untuk menangkis senjata lawannya yang mengarah ke lambung.

    Benturan itu ternyata cukup mengejutkan Ki Ajar. Ternyata kekuatan Ki Gede tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Hampir saja keris itu terlepas dari genggamannya kalau saja Ki Ajar tidak segera memperbaiki kedudukannya sambil meloncat kebelakang mengambil jarak.

    bersambung ke TADBM 407

    • Tks mBah Man…Semoga juga Panjenengan enggal dangan…sehat sentosa…aamiin..

  8. Matur nuwun mbah_man, ternyata walaupun sakit ilmunya masih tetap nggegirisi …..

    • matur suwun Ki Jokowo,
      doanya saja yang embah minta agar semuanya berjalan lancar dan barokah.. amiin

      • Monggo Mbah, ingkang sekeco kemawon, insyaa Allah poro Cantrik Mentrik tansah ndedonga kagem kesarasanipun mbah_man …..

  9. Matur suwun mbah

    ada waktu sejenak, bendel buku, tutup gandok dan buka gandok baru.

    jreng…….

    Dengan ini gandok 406 ditutup ….

    dog…dog…dog….

    tempat bergojeg selanjutnya di gandok TADBM-407

  10. Matur nuwun Mbah Man, semoga Mbah Man diparingi sehat. salam

    • Sami2 Ki Jreksa,
      Priyantun saking tlatah pundi?
      salam tepang ugi

      • Saking tlatah Bergota Semawis Mbah Man, Salam kenal ugi.

  11. :: matur nuwun mbah_man semoga cepat sehat..banyak istirahat ya mbah.. ::

  12. patriotik n heroik untuk tanah kelahiran

  13. rontal kaping 406 sampun cekap,mugi rontal ingkang kaping 407 enggal dumawah,….nuwun

  14. selamat pagi
    selamat beraktivitas bagi sanak kadang Gagakseta

  15. …sepertinya…maaf…mbah man sudah mulai terjebak alur cerita yang dibuat berpanjang-panjang mirip2 gaya Khoo ping ho…(itu perasaan saya)…


Tinggalkan komentar