TADBM-403

<< kembali ke TADBM-402 | lanjut ke TADBM-404 >>

TADBM-403

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 29/10/2013 at 09:00  Comments (866)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/tadbm-403/trackback/

RSS feed for comments on this post.

866 KomentarTinggalkan komentar

  1. ah….
    kenangan yang indah
    terlalu manis untuk dilupakan…..
    rak ngaten to dulur?

    • inggiiihhh …..

  2. Nuwun,

    Dan dongengku berlanjut:

    NAMAKU IZRAIL, SANG SAKRATUL MAUT

    Namaku Izrail, yang tiba-tiba datang tak diundang menjemputmu.

    Tidaklah terlalu penting kita pasti akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu.

    Bukankah Sang Utusan Agung, Lelaki Pembawa Risalah Langit Rahmat bagi Seluruh Alam, yang kita dengan tulus menyampaikan shalawat dan salam kepadanya, mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal kebaikan.

    Bersegera beramal kebaikan sebelum datang tujuh perkara:
    1. kemiskinan yang memperdaya,
    2. kekayaan yang menyombongkan,
    3. sakit yang memayahkan,
    4. tua yang melemahkan,
    5. kematian yang memutuskan,
    6. dajjal yang menyesatkan, dan
    7. kiamat yang sangat berat dan menyusahkan.

    naskah dipindah ke https://cersilindonesia.wordpress.com/dongeng-punakawan/47/

    • Matur nuwun Ki Punakawan, masyaallah nggegirisi …

    • astaghfirullah…
      ya Allah ampunilah segala dosa kami…

  3. ditunggu lanjutannya mbah…

  4. Nuwun

    HARI IBU

    Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 sd 25 Desember 1928 di Yogyakarta di gedung Dalem Jayadipuran, yang sekarang berfungsi sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.

    Kongres dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

    Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan jangan lupa, masa-masa lama Nusantara: Ratu Kalinyamat, Laksamana Malahayati, dan masih banyak lagi.

    naskah dipindah ke https://cersilindonesia.wordpress.com/dongeng-punakawan/48/

    • Matur nuwun Ki Punakawan, SELAMAT HARI IBU

  5. selamat malam
    matur suwun mbah-Man

  6. Hadir, suasana dingin menyelimuti seluruh gandok …. tetap semangat !

    • di padukuhanku jg dingin dan masih berkabut ki joko

      • enake nyruput wedang sere … + mbakar jagung

        • leres ki PA… ni baru saja bikin wedang jahe sere dg gula merah…. wah… maknyuss tnn….

  7. pandan wangi kok ngundang ki PA
    kudune yo…leres romo….betul ayah…
    he he

    • sssttt….aku ki isih sak plantarane PW

      *adaptable ssi lingkungan sekitar

      • Ssttt, Ki PA masih muda kog, ndak pantes dipanggil ayah atau romo…

        • hihihi…. pantesnya dipanggil bgmn ya…

          • Mas aja, terserah mau berapa karat…
            xixixixixi

          • Mas ki PA ……luwih sreg

          • Ha ha ha ….
            betul…betul…betul…
            saya panggilnya Pak Lik Ki PA

  8. grimis riwis riwis
    rodo atis

  9. Hadir, gandoknya ada 2 ….. tetap semangat !

  10. ketok pintu…
    tengok gandok…
    dereng pinanggih rontal mbah man
    tuwin ular-ular pambuka manah
    ‘king ki puna…..

  11. mn ni mbah kisah menorehnya,….

  12. hhmmmm

    setelah hujan sejak semalam sampai siang tadi, udara menjadi dingin sekali.
    hadu…., dimana-mana jadi basah karena atap bocor

    bbrrr………….., dingin sekali
    gak ada yang ronda lagi

    pulang lagi ah….,

    • Makanya Paklik, padepokan perlu di renov atapnya supaya ndak bocor….

      • Tukangnya pada liburan tahun baru Bu Lik, gak ada yang mau lembur, he he he ….

        Selamat berlibur

  13. Nuwun

    Katur pårå sanak kadang padépokan, ingkang dahat sinu darsånå ing budi, såhå ingkang tansah marsudi ing rèh kautaman,

    Semangat Bakti Negeri di Jelang Akhir Tahun

    Ketika sanak kadangku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku yang beragama Kristen dan Katolik sedang merayakan hari besarnya. Hari Natal. Hari yang diyakininya sebagai Kelahiran Yesus, ada cerita yang menarik untuk saya ceritakan kembali kepada seluruh sanak kadangku di padepokan ini.

    Dalam pada itu, punåkawan tidak memperbincangkan keyakinan yang dianut sanak kadangku tersebut, dan punåkawan senantiasa menghormatinya, selaras dan sejalan dengan tuntunan: Lakum Dinukum Waliyadin.

    Yang hendak punåkawan ceritakan adalah, bahwa di malam tanggal 25 Desember 2013 yang baru saja berlalu, punåkawan diundang sahabat-sahabat pada acara “Semangat Bakti Negeri”, yang diselenggarakan di aula di samping sebuah gereja di wilayah Jakarta Barat.

    Ketika tengah berlangsung acara ritual keagamaan Kristen di gereja tersebut, sanak kadang yang bukan beragama Kristen (termasuk punåkawan, dan sanak kadang lainnya – ada yang beragama Budha, Hindu, Khonghucu, bahkan penganut aliran kepercayaan), berkumpul di aula, dan acara kumpul-kumpul semacam ini sangat sering kami lakukan; kami menunggu selesainya ritual kebaktian Natal mereka.

    Setelah lewat tengah malam, beberapa saat setelah acara kebaktian selesai, segeralah acara yang tadinya penuh dengan nuansa ritual, di ruang aula yang tidak seberapa luas itu, berubah menjadi acara yang riuh, berbaur dan lepas dari sekat-sekat keagamaan, suku dan ras, yang ada kemudian adalah perasaan satu bangsa yang meskipun berbeda ras, berbeda agama dan berbeda suku, namun dalam satu ikatan Bhinneka Tunggal Ika.

    Ucapan selamat mengalir dengan tulus, senyum dan bersahabat. Seorang pastor yang tadi memimpin kebaktian bergaul dan bercanda riang dengan seorang aktivis pesantren, seorang penganut Hindu Dharma bertegur sapa ramah dengan seorang pemuda Katolik, demikian juga yang bergama Budha, Khonghucu, juga yang lainnya, saling menyapa.

    Ada yang menggugah semangat patriotik bagi sanak kadang punåkawan yang hadir, ketika sebuah grup kelompok pemusik yang terdiri dari aktivis gereja dan satu atau dua orang dari sanak kadangku yang beragama bukan Kristen, memainkan lagu yang pernah dipopulerkan oleh seorang penyanyi keturunan Belanda Anneke Grönloh, atau nama lengkapnya Johanna Louise Grönloh, (lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 7 Juni 1942).

    Dia adalah seorang penyanyi keturunan Belanda-Indonesia. Ia yang populer di Indonesia, Singapura dan Brunei Darussalam pada awal tahun 1960-an. Lagu-lagunya antara lain Buka Pintu, Rambut Hitam Matanya Galak, O Ina Ni Keke, dan Tjerewerewe, dan dia. Anneke adalah penyanyi pertama yang mempopulerkan lagu pengantar tidur paling terkenal di Indonesia, Nina Bobo.

    Lagu yang tengah dinyanyikan itu adalah lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki, dengan syair lagu dalam Bahasa Belanda, yang terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indoneisa saya sertakan berikut ini.

    [Bagi sanak kadang yang ingin mendengarkan lagu tersebut yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya, silakan kunjungi you tube, ketik: Indonesia, ik hou van jou].

    INDONESIË, IK HOU VAN JOU – INDONESIA AKU CINTA KEPADAMU

    Oh Indonesië mijn geboorteland
    Het mooiste eiland daar de zon heet brandt
    Het zoete fruit, de rijpe doerian
    Krontjong muziek en zachte gamelan

    Het warme land waar ik zoveel van hou
    Ik zing dit lied zo graag allen voor jou
    Omdat ik dan ‘n beetje bij je bent
    En zo mijzelf verwend

    Ref:

    Alles wat ik weet en nooit meer vergeet
    Indonesia, ik hou van jou
    Mijn geboorteland, prachtig palmenland
    Indonesia, ik hou van jou

    De blijde mensen en hun stille kracht
    De rijke sawahs met hun groene pracht
    Waar de melati bloem het mooiste bloeit
    En waar de klapperboom het snelste groeit
    Zoals de tjitjaks lachen aan de wand
    Zo ben ik trots op mijn geboorteland
    Jij blijft voor altijd als ik jou verzing
    In mijn herinnering

    Ref: …………..

    Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia:

    Oh Indonesia tanah kelahiranku
    Pulau terindah di mana matahari panas membakar
    Buah yang manis, durian yang masak
    Musik keroncong dan gamelan yang lembut

    Negara hangat yang sangat kucintai
    Kunyanyikan lagu ini dengan kegembiraan untukmu
    Karenanya aku lalu merasa menyatu bersamamu
    Dan aku begitu dimanjakan olehnya

    Ref:

    Semua yang kualami itu tak akan pernah kulupakan
    Indonesia, aku cinta kepadamu
    Tanah kelahiranku, pulau kelapa yang menakjubkan
    Indonesia, aku cinta kepadamu

    Orang-orang yang riang dan cinta damai
    Sawah yang kaya dan hijau megah
    Di sana bunga melati memekarkan kuntumnya yang paling indah
    Di sana pohon nyiur tumbuh paling cepat
    Laksana cicak-cicak yang merayap di dinding tertawa riang
    Dan aku bangga dengan tanah kelahiranku itu
    Engkau akan tinggal selamanya bila kubernyanyi
    Dalam kenanganku

    Ref: ……

    Sungguh. Indonesia aku cinta kepadamu.

    Nuwun

    punåkawan

    • Hmmmm…………
      kulo luwih remen mendengar kidung alam….sumiliring bayu setro diiringi kicauan burung…

  14. Hadir, di gandok yang ini ….. tetap semangat !

    • Di gandok yang sebelah dah ada wedaran baru belum yach???

      • belum bu lik

        • Sedang memikirkan apa to kakang mas ki PA..??

          #halah….. .

          • Hadewh salah ndlesep… ini sarana aji pamelingnya emg sering eror… pa karena ada laku yg salah?

          • kebiasaanmu Wangi…

            nek ra salah ngamar, mesthi salan ndlesep

  15. selamat siang
    sepi

  16. mmm…. sepi….
    lbh baik duduk slonjoran aja di lincak depan dapur sambil dengerin suara tembang dhandang gula… meskipun lamat2 tp suaranya merdu sekali…
    jd penasaran, siapakah yg nembang di malam ngelangut begini??

  17. Kagem Ki Puna

    Kulo sampun meluncur teng youtube ki (sanes ***tube), searching ik hou van jou waladala ketemu yang dinyanyikan oleh Dana Winner sae ki namung (nuwun sewu) kirang familiar. Lajeng di daftar/list nya ada Dana Winner bersama Simon and Garfunkel membawakan Sound of Silence, ahai ingatan saya melayang ke beberapapuluh tahun silam tatkala SG tenar membawakan Bridge Over Trouble Water dan sekaligus pengen tahu apakah sound of silence akan seindah La voce del silencio-nya Andrea Bocelii.
    Hasilnya (menurut pangraita kulo lho ki), dengan sama sama ora ngerti bosone, La Voce-nya Andrea lebih mewakili “suara dari keheningan”.
    Matur nuwun Ik hou van jou

    • Katur Ki Djodjosm,

      Nyuwun sèwu Ki, yang dimaksud adalah:
      youtube, ketik: Indonesia, ik hou van jou

      Tentang “swaraning asêpi” Andrea Bocelli – La Voce del Silenzio, saya sependapat dengan panjênêngan. Indah sekali Ki.

      Berikut saya coba kutipkan sepenggal terjemahan bebasnya
      (mudah-mudahan tidak salah):

      Dan siapa diriku yang mencintai begitu banyak
      yang datang dari laut keheningan
      kembali seperti gelombang
      di mataku,
      dan akupun merindukanmu dalam keteduhan cintamu

      Dalam nyanyi bisu yang hening,
      Aku tidak mengharapkan apa-apa,
      Aku hanya ingin berteriak lantang.

      Dihatiku

      [tu non avevi perso mai
      tu non avevi perso mai
      tu non avevi perso mai.]

      Engkau tak akan pernah hilang
      Engkau tak akan pernah hilang
      Engkau tak akan pernah hilang

      Nuwun

      punåkawan

      • He he he …, beda kalau para sesepuh pada paring pangandikan.
        Yang muda menyimak saja deh, belum bisa menikmati keheningan.

        • @ Ki Puna, Mas Putut..
          Matur nuwun sanget Ki dengan adanya terjemahan La Voce tsb, keheningan tentu akan bisa dinikmati.
          @Mas Putut, dalam usia senja ini kayanya sudah banyak kenikmatan yang berkurang. Jalan jalan ke Mall sudah malas terlalu bising, makan juga sudah ga lahap kaya dulu lagi, nasi jagung kaya KI PA sudah ga bertenaga.
          Alhamdulillah pada malam malam hening masih bisa bersyukur atas begitu banyak kenikmatan yang telah kita terima dari Sang Maha Kuasa.
          Sumonggo magriban rumiyin

  18. sugeng siang
    nginguk
    jik sepi

  19. tak nglengsor nang gandok ah … nunggu mbah man ….

  20. copy dari gandok mbah_man

    On 29/12/2013 at 21:10 mbah_man said: |Sunting Ini

    Lanjutan TADBM 403

    Ki Widura yang mendengar desah Ki Rangga Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Adakah sesuatu yang memberatkan hatimu jika kedua kakak beradik itu ikut denganmu ke Menoreh?”

    “O, tidak tidak, Paman,” dengan cepat Ki Rangga menyahut, namun tiba tiba sesuatu telah menggetarkan hatinya. Dalam tangkapan pendengarannya, seolah olah dia mendengar suara tangisan bayi lamat lamat di kejauhan.

    Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya untuk mencoba mendengarkan suara itu lebih jelas. Adalah hal yang biasa di saat saat seperti itu terdengar tangisan seorang bayi dari Padukuhan sebelah. Namun rasa rasanya suara tangis bayi itu seperti memukul mukul dinding jantungnya.

    “Aneh,” desis Ki Rangga Agung Sedayu ketika menyadari suara tangis itu justru menghilang ketika dia mencoba untuk mendengarkan dengan seksama.

    “Apanya yang aneh Sedayu?” Pamannya yang duduk di depannya menjadi terheran heran melihat perubahan tingkah laku kemenakannya itu.

    Ki Rangga tidak menjawab, dicobanya untuk mengetrapkan aji Sapta Pangrungunya sampai ke puncak, namun justru suara tangisan bayi itu benar benar telah menghilang.

    “Mengapa?” tanpa sadar kata kata itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.

    Ki Widura menjadi gelisah melihat tingkah laku keponakannya yang tidak sewajarnya. Akhirnya dengan nada yang dalam, dia kembali bertanya, “Sedayu, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Katakanlah! Mungkin Pamanmu yang tua ini dapat sedikit membantu.”

    Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan tersadar dari mimpi buruk. Dengan menarik nafas dalam dalam, dilepaskannya pengetrapan aji Sapta Pangrungu itu sehingga kini dia benar benar mendengarkan alam sekitarnya dengan pendengaran wajar, walaupun ilmu yang sudah menyatu dengan jiwa raganya itu kadang kadang tanpa pengetrapanpun akan bekerja dengan sendirinya terutama pada saat bahaya mengancam jiwanya.

    Namun baru saja Ki Rangga Agung Sedayu bernafas lega, kembali suara tangis itu terdengar justru sangat dekat seperti di sekitar halaman Padepokan.

    “Paman?” tanpa sadar Ki Rangga bangkit dari tempat duduknya, “Apakah Paman mendengar suara tangis bayi?”

    Ki Widura yang masih diam di tempat duduknya itu mengerutkan keningnya dalam dalam. Sambil menggeleng dia menjawab, “Aku tidak mendengar suara apa apa, Sedayu, selain suara binatang binatang malam.”

    Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Dicobanya sekali lagi untuk mengetrapkan aji sapta pangrurngu, sapta pandulu dan bahkan sapta panggraita, namun justru sekali lagi suara tangisan bayi itu malah menghilang.

    “Paman,” akhirnya Ki Rangga duduk kembali, “Aku merasa ada seseorang sedang mempermainkan aku. Dalam keadaan wajar aku mendengar seolah olah ada suara tangisan bayi di kejauhan, bahkan baru saja aku dengar suara itu seolah olah ada di halaman ini. Namun ketika aku mencoba untuk mengetahui lebih jauh, justru suara itu menghilang demikian saja.”

    “Apakah engkau mencoba mengetrapkan ilmumu untuk mencari arah suara tangisan itu?” bertanya Ki Widura kemudian.

    “Ya, Paman,” jawab Ki Rangga, “Bahkan aku telah mengetrapkan segala kemampuanku untuk menemukan sumber bunyi itu, akan tetapi aku telah gagal.”

    Untuk beberapa saat wajah yang sudah sangat tua itu merenung. Kemudian katanya perlahan lahan sambil menarik nafas dalam dalam, “Sedayu, dengan kemampuan ilmu apapun yang telah engkau miliki, engkau tidak akan menemukan sumber suara itu.”

    “Mengapa Paman?”

    “Karena suara itu berasal dari dalam dadamu, dari dalam hatimu sendiri.”

    Sejenak Ki Rangga termangu mangu. Dia benar benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pamannya.

    “Sedayu,” akhirnya Ki Widura berkata dengan sareh, “Di alam jagad raya ini banyak hal yang tidak mampu diuraikan oleh ilmu yang dimiliki manusia. Banyak hal yang tetap menjadi rahasiaNya, walaupun manusia telah berupaya dengan segala akalnya untuk memecahkan rahasia itu. Demikian juga dengan suara tangis bayi yang engkau dengar itu. Itu adalah salah satu rahasia Sang Pencipta untuk memberi isyarat kepada para hambaNya, melalui suara hati mereka sendiri. Kebanyakan kegagalan manusia dalam menentukan jalan hidupnya adalah karena tidak mampu mendengarkan suara hatinya.”

    Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu mendengarkan nasehat Ki Widura. Sepeninggal Kiai Gringsing, memang tidak ada lagi yang memberikan tuntunan secara batiniah kepada dirinya dan adik seperguruannya itu.

    Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu berusaha memusatkan nalar dan budinya disertai dengan doa permohonan untuk menguraikan isyarat yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung kepada dirinya, tiba tiba bagaikan di sambar seribu halilitar Ki Rangga Agung Sedayu pun terlonjak dari tempat duduknya sambil mulutnya mengucapkan sebuah nama, “Mirah..!”

    • matur nuwun mbah man. matur nuwun ms risang…
      akhirnya yg ditunggu datang juga… tp kok ya malah pengen lagi dan lagi ya…. hehe

  21. Matur nuwun mbah atas wedarannya…biarlh saya yang jaga gandok biar rontal ga jatuh ke orang lain biar bisa dinikmati sanak kadang…

  22. mantah

  23. Matur nuwun mbah Man. Menawi saget lan reno penggalih,nyuwun terasanipun malih kangge sangu malam tahun baruan,mbah. Di tenggo nggih?……………

    • ora sah basa basi diajeng…
      kondono maring mBah Man ..

      mBah….terusane pundi ?

      • To the point wae yo ki PA?…
        Btw, Met tahun baru yo

  24. Sepada, sampurasun

  25. copy dari gandok mbah_man

    On 30/12/2013 at 05:31 mbah_man said:

    Lanjutan TADBM 403

    Ki Widura yang duduk di hadapannya pun ikut terlonjak. Dengan ragu ragu dia bertanya, “Apakah benar demikian? Semoga Sekar Mirah diberi kelancaran dan kesehatan.”

    Ki Rangga Agung Sedayu benar benar sudah yakin dengan isyarat yang diterimanya. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung dia pun segera bersujud disertai ucapan puji syukur atas segala karunia yang telah diterimanya dalam lingkup Kebesaran dan KeagunganNya.

    Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang memang masih belum tidur di bilik Kiai Gringsing lamat lamat mendengar kegaduhan yang sedang terjadi di pendapa.

    “Lihatlah,” berkata Swandaru kepada istrinya, “Mungkin ada sesuatu yang memerlukan bantuanmu walaupun aku percaya Kakang Agung Sedayu adalah orang yang pilih tanding, namun tidak ada jeleknya kalau kita mengetahui persoalan sebenarnya yang sedang terjadi.”

    Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya dia memandang sepasang pedangnya yang terletak di geledek bambu di dekat ajug ajug. Namun niat untuk mengambil sepasang pedangnya itupun diurungkan ketika suaminya berkata, “Engkau tidak sedang memakai pakaian khususmu. Lebih baik engkau tinggalkan saja senjatamu itu di sini.”

    “Baiklah Kakang,” akhirnya Pandan Wangi menyahut sambil bangkit dari pembaringan. Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, Pandan Wangi pun melangkah menuju ke pendapa.

    Suara derit pintu pringgitan ternyata telah membuat kedua orang yang sedang berada di pendapa itu berpaling.

    Ki Widura tersenyum begitu melihat Pandan Wangi yang berdiri termangu mangu di tengah tengah pintu pringgitan yang terbuka separo. Kemudian katanya, “Kemarilah, kami mempunyai berita untukmu.”

    Dengan langkah tertegun tegun, Pandan Wangi mendekati kedua orang yang sedang duduk duduk di pendapa itu. Setelah mengambil tempat duduk di sebelah Ki Widura, Pandan Wangi pun kemudian menunggu kedua orang itu berbicara sambil menundukkan wajahnya. Sejenak suasana pun menjadi hening.

    “Pandan Wangi,” akhirnya Ki Widura berkata memecah keheningan, “Besuk pagi pagi sekali Agung Sedayu akan berangkat ke Mataram ditemani oleh dua orang cantrik Padepokan. Menurut berita yang baru saja kita terima dari seorang prajurit sandi sore tadi, keamanan di ibu kota Mataram sangat mengkawatirkan sepeninggal pasukan yang telah dikirim ke Panaraga. Aku tidak tahu apa penyebabnya, mungkin Sedayu dapat menjelaskan semua itu kalau memang tidak melanggar kerahasiaan seorang prajurit.”

    Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Dia sadar, ancaman terhadap Mataram juga berlaku bagi Tanah Perdikan Menoreh, justru karena perguruan perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra itu menjadikan Menoreh sebagai tempat berkumpul dan landasan pergerakan mereka memukul Mataram. Dan semua itu pasti akan berpengaruh terhadap Pandan Wangi sebagai putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

    “Wangi,” perlahan Ki Rangga merangkai kata agar tidak mengguncangkan jantung istri adik seperguruannya itu, “Ibu kota Mataram sekarang ini sedang mendapat ancaman dari seorang yang menamakan dirinya Panembahan Cahya Warastra. Dibantu dengan perguruan perguruan yang ada di tanah ini yang sehaluan dengan Panembahan itu. Aku telah mendapat perintah dari Ki Patih Mandaraka lewat prajurit sandi untuk menghimpun pasukan Mataram yang tersisa serta pengawal pengawal dari Kademangan Kademangan di sekitar Mataram untuk menggempur kekuatan yang membayangi Mataram itu.”

    Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Raut wajahnya menunjukkan ketegangan hatinya, kemudian katanya, “Bukankah Panembahan Cahya Warastra itu sudah terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka sendiri? Bagaimana mungkin ada orang yang menyebut dirinya dengan sebutan yang sama?”

    Ki Widura yang sedari tadi mendengarkan keterangan Ki Rangga dengan seksama ikut bertanya, “Ya, aku juga mendengar berita kematian Panembahan yang tamak itu. Apakah mungkin dia memiliki aji pancasona yang mampu membuat dirinya hidup kembali setiap kali jasadnya menyentuh bumi?”

    Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Aji seperti itu hanya ada dalam cerita cerita babat dan dongeng dongeng. Namun selebihnya kita harus mewaspadai kekuatan perguruan perguruan yang telah dihimpun oleh Panembahan itu.”

    “Dimanakah Panembahan itu menghimpun kekuatannya?” tanpa sadar Pandan Wangi bertanya.

    Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Keragu raguan tampak membayang di wajahnya. Tidak mungkin baginya untuk menyembunyikan kenyataan yang ada. Namun semua itu akan membawa akibat yang jelas, Pandan Wangi pasti akan berkeras untuk ikut dengan dirinya ke Mataram.

  26. lagi..lagi…dan lagi…

  27. melu ronda

  28. kulo nggih tumut nyimak…
    sik dereng kepanggih melih
    sing seru-seru….
    tansah satya satuhu nenggo
    dawahipun wedaran TADBM
    (ra sah basa-basi…..dawuhe Ki PA….)

  29. Kulo nyuwun tanduk Mbah Man…………..terasannipun…..hehehehe…………….welingipun Kangmas Pandanalass kedah to the point mawon……………….

    • mbak Meniek, kok simbah dereng tepang kaliyan panjenengan?
      tepangaken kula mbah man hehehehehehe…
      sampun tumut grup mentrikbelle menapa dereng?
      mangga dipun sekecakaken anggenipun lenggah…

    • ndaftar anggota mentrikbelle via inbox ku yo Jeng

      • Usahaaaaaaa………xixixixi

  30. dua hari tiada komen…
    o ya lali ding…iki malem jumuwah….

    • Wah….., telat…
      wis pindah gandok.

  31. WELEH SEPI…PODHO NENG NDI TO DINO JUM’AT ?

    • Lingsir soreee
      Sepi durung biso moco
      kagodo..eng wewayang ceritone mBah Mannnnnn

      • Ceerito sing pundi Ki kok kulo dereng saged nyambung nggih…..

  32. Matur nuwun Mbah Man……terusanipun.

  33. Trimakasih bacaan yg menarik


Tinggalkan komentar