STSD-18

Kembali ke STSD-17 | Lanjut ke STSD-19

Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yang berkenan bisa info ke email:s_sudjatmiko@yahoo.com.au Matur suwun

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 24/01/2020 at 23:00  Comments (256)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/stsd-18/trackback/

RSS feed for comments on this post.

256 KomentarTinggalkan komentar

  1. Nyuwun pangapunten. F

    • isinya sangat menarik banget ,perlu dilestarikan

  2. Dah 4 hari kok gak ada gerbong lewat, po bannya gembos ya

    • Ngaputen Jakarta banjir dados radi terhambat perjalananipun hehehe

  3. <STSD-18 halaman 60-61

    Ada terbersit pemikiran untuk kembali ke goa Langse. Namun pemikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh.

    “Untuk apa aku kembali ke goa Langse?” pertanyaan itu berputar putar dalam benaknya. Sementara Matahari di langit sudah tampak mulai sedikit tergelincir ke arah barat.

    “Ah, persetan dengan semua persoalan itu. Aku akan pergi kemanapun kakiku melangkah,” umpat Panengah dalam hati kemudian sambil membalikkan badan dan kembali menyusuri jalan melewati depan regol banjar padukuhan induk.

    Dalam pada itu di pendapa banjar padukuhan induk, Ki Gede didampingi Ki Wiyaga dan Ki Rangga di sebelah menyebelah telah berdiri berjajar jajar di belakang jenasah Pertapa goa Langse yang telah dimasukkan kedalam keranda dan digeser tempatnya agak ke depan. Di belakang Ki Gede tampak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan. Sedangkan Ki Jayaraga agaknya masih tidak tega untuk meninggalkan muridnya yang masih terbaring di dalam bilik di ruang tengah banjar padukuhan induk.

    Di halaman banjar, tampak telah berkumpul para penghuni padukuhan induk yang tinggal di sekitar banjar. Sebenarnya mereka sudah melihat jenasah itu di pendapa sejak pagi menjelang siang tadi. Namun sampai saat ini, belum ada kejelasan tentang jati diri orang yang telah terbujur menjadi mayat itu.

    “Siapakah sebenarnya yang telah meninggal?” bertanya seorang laki laki tua kepada orang yang berdiri di sebelahnya.

    “Aku tidak tahu, kek,” jawab laki laki itu tanpa berpaling. Pandangan matanya lurus ke depan memperhatikan apa yang ada di pendapa.

    60

    “Nanti Ki Gede pasti akan memberitahukan kepada kita,” sahut seorang laki laki paro baya yang berdiri tidak jauh dari kakek tua itu, “Tapi menurut dugaanku, yang meninggal itu pasti bukan warga perdikan Matesih.”

    “Ya, aku juga menduga demikian,” sahut kakek tua itu sambil mendesak ke depan.

    Tiba tiba terlintas dalam benak kakek tua itu sesuatu dugaan. Maka katanya kemudian, “Jangan–jangan salah satu tamu Ki Gede yang tinggal di banjar ini yang meninggal dunia. Aku dengar selepas penyerbuan ke padepokan Sapta Dhahana, ada salah satu dari mereka yang terluka dan jatuh sakit.”

    Orang-orang di sekitarnya yang mendengar kata kata kakek tua itu telah berpaling sambil mengerutkan kening. Tanpa sadar mereka kembali melayangkan pandangan ke pendapa. Walaupun mereka kebanyakan tidak mengenal Ki Rangga dan kawan kawannya orang perorang. Namun mereka segera mengenali dari wajah wajah asing yang berdiri di sekitar Ki Gede.

    “He! Mereka katanya ada berlima?!” seru salah seorang yang berjanggut dan berkumis lebat, “Tapi mengapa yang aku lihat di pendapa itu hanya bertiga? Ke mana yang dua lagi? Ataukah aku yang salah hitung?”

    Beberapa orang yang mendengar ucapan orang itu telah menjadi berdebar debar. Tanpa sadar mereka segera mengamat amati wajah wajah yang tampak asing bagi mereka. Wajah wajah yang belum pernah terlihat selama ini di perdikan Matesih. Berbagai dugaan pun telah memenuhi benak mereka.

    Namun agaknya kakek tua itu segera menyadari bahwa dugaannya akan dapat membawa ke perdebatan yang tak berujung pangkal.

    Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Aku juga tidak begitu paham dengan kelima tamu Ki Gede itu. Lebih baik kita tunggu penjelasan Ki Gede saja.”

  4. STSD-18 halaman 62-64

    Agaknya orang-orang yang berada di sekitar kakek tua itu pun akhirnya menyadari. Tidak ada gunanya mereka menduga duga peristiwa yang mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Lebih baik menunggu saja keterangan resmi dari pemimpin tanah perdikan Matesih itu.

    Dalam pada itu di pendapa Ki Gede telah maju selangkah. Setelah mengucapkan salam terlebih dahulu, barulah Ki Gede memulai sesorahnya.

    “Siang hari ini kita akan mengantarkan jenasah menuju ke tanah pekuburan, “ berkata Ki Gede kemudian memulai sesorahnya, “Jenasah ini adalah jenasah seseorang yang menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse.”

    Segera saja terdengar kerumunan orang di halaman banjar itu saling bergeremang antara satu dengan lainnya. Beberapa orang yang mempunyai dugaan yang keliru pun telah menarik nafas dalam dalam.

    “Pertapa dari goa Langse?” desis kakek yang sebelumnya menduga jika salah satu kawan Ki Rangga yang meninggal.

    “Siapa itu?” lanjutnya kemudian dengan nada penuh tanya.

    “Aku juga tidak tahu, kek,” sela orang yang berdiri di sebelahnya, “Akan tetapi dari julukannya, dia pasti berasal dari tempat yang jauh.”

    “Ya, ya. Engkau benar,” sahut kakek itu dengar serta merta.

    Kemudian dengan kerut merut di dahi, kakek itu mencoba mengumpulkan ingatannya. Lanjutnya kemudian, “Goa Langse itu kalau aku tidak salah berada di pantai laut selatan.”

    “Memangnya kakek pernah ke sana?” tiba tiba seseorang menyela.

    Kakek itu berpaling ke arahnya sambil tersenyum mengejek. Jawabnya jemudian, “Jelek jelek begini, di masa muda hampir seluruh tempat di tanah Jawa ini telah aku jelajahi. Dari ujung kulon sampai ujun wetan.”

    “Tapi, seumur-umur aku belum pernah melihat kakek meninggalkan Matesih,” tiba tiba terdengar suara seseorang menyeluthuk dari arah belakangnya.

    Ketika kakek tua itu kemudian berpaling ke belakang, terlihat seseorang yang setua dirinya sedang tersenyum ke arahnya. Wajah kakek itu pun menjadi merah padam seperti udang direbus. Sementara di sekeliling kakek itu pun kemudian terdengar suara tawa yang tertahan-tahan. Kakek itu pun hanya dapat menggeram sambil memelototkan sepasang matanya ke arah mereka.

    “Jadi, kewajiban kita sebagai sesama insan hamba Tuhan, adalah memberikan penghormatan terakhir dan menyelenggarakan pemakamannya, apapun peran yang telah dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse ini kepada tanah perdikan Matesih,” terdengar kembali suara Ki Gede meneruskan sesorahnya.

    “Nah, marilah kita bersama sama memanjatkan doa kepada yang Maha Pemurah agar peristiwa yang terjadi di perdikan Matesih selama ini dan khususnya peristiwa di banjar padukan induk pagi tadi, tidak akan terulang kembali. Semoga perdikan Matesih selalu jaya dan dalam lindungan serta bimbingan Yang Maha Kuasa,”

    Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan matanya menangkap sesosok tubuh tua renta…..

    • Ngapunten, ada bagian kalimat yang tertinggal. Kalimat sebelum gambar mestinya ada tambahan:

      berkata Ki Gede kemudian mengakhiri sesorahnya.

  5. <b.STSD-18 halaman 65-66

    Ki Waskita yang telah ditunjuk oleh Ki Gede untuk memimpin doa segera maju ke depan. Segera saja untaian doa demi doa mengalir dari bibir Ki Waskita. Orang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan serta telah putus segala kawruh lahir maupun batin itu pun akhirnya mengakhiri doanya dengan harapan dan permohonan agar perdikan Matesih selalu dalam lindunganNya untuk menyongsong hari hari mendatang.

    Setelah Ki Waskita selesai memimpin doa, empat orang pengawal yang telah disiapkan segera mengangkat keranda dan kemudian berjalan perlahan menuruni pendapa. Sesampainya keranda itu di halaman banjar, orang orang pun saling berebut untuk menggantikan memikul jenasah itu.

    “Apakah Ki Rangga dan kawan-kawan akan ikut mengantar jenasah sampai ke pekuburan?” bertanya Ki Gede kemudian sambil berjalan menuruni pendapa.

    Sejenak Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan. Tampak kedua orang itu tidak berkeberatan dan telah menganggukkan kepala mereka.

    “Baiklah Ki Gede, mari kita antar jenasah itu sampai ke liang lahat,” jawab Ki Rangga kemudian sambil mengikuti langkah Ki Gede menuruni tlundak pendapa.

    Demikianlah Ki Gede dan Ki Rangga beserta Ki Waskita segera bergabung dengan arus orang-orang yang berjalan ke tempat pekuburan. Sedangkan Ki Wiyaga dan Ki Bango Lamatan tampak berjalan di belakang sambil asyik bercakap cakap.

    “Ki Bango Lamatan,” bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Bagaimana keadaan Glagah Putih yang sebenarnya? Mengapa aku tadi tidak diijinkan untuk menengok ke dalam biliknya?”

    “Bukan begitu, Ki Wiyaga,” sahut Ki Bango Lamatan sambil mengikuti langkah kepala pengawal perdikan Matesih itu, “Luka Glagah Putih memang sangat parah. Bukan dalam arti luka yang terbuka terkena senjata tajam. Namun luka Glagah Putih adalah luka di dalam tubuhnya. Tenaga cadangannya bagaikan terperas habis dari dalam tubuhnya. Bahkan darahnya pun telah ikut merembes keluar dari pori pori sekujur tubuhnya.”

    “Gila!” geram Ki Wiyaga tanpa sadar sambil mengepalkan kedua tangannya, “Ilmu apakah yang dimiliki oleh lawan Glagah Putih itu sehingga Glagah Putih telah mengalami cidera seperti itu?”

    Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Angannya sejenak melayang ke peristiwa tadi pagi. Seandainya Ki Rangga mengetahui Pertapa goa Langse itu memiliki sebuah ilmu yang nggegirisi seperti itu dan akibat yang dapat ditimbulkannya, tentu Ki Rangga tidak akan mengijinkan Glagah Putih untuk menghadapinya.

    Ki Wiyaga yang melihat Ki Bango Lamatan justru telah termenung menjadi heran. Tanyanya kemudian, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi, Ki Bango Lamatan?”

    Ki Bango Lamatan bagaikan terjaga dari tidurnya mendapat pertanyaan dari Ki Wiyaga. Setelah menarik nafas panjang, barulah dia menjawab, “Lawan Glagah Putih itu memiliki sejenis ilmu yang mampu menyedot kekuatan lawan, khususnya tenaga cadangannya. Dengan demikian apabila kedua tangan lawan Glagah Putih itu telah menempel di tubuh bagian mana saja, ilmu itu akan bekerja. Jika tenaga cadangan lawannya masih dibawah kekuatannya, dengan cepat dia akan mampu membuat lawannya mati lemas dengan sekujur tubuh bersimbah darah.”

    • Matur nuwun mbah Man dan ki Putut barokalloh

    • Matur nuwun Mbah Man dan Ki Putut Risang

  6. Minggu ini, kegiatan sedemikian padatnya, sehingga tidak memungkinkan mampir gandok untuk memberangkatkan kereta. Ngapunteeeennn…………….

    • Alhamdulillah geh Ki Putut, nanging niki pun, sampun saget damel nglipur ati hehehe lan mugi2 segat sedanten Aamiin Yaa Robb

  7. Makasih ki, disore yang hujan dan dingin ini telah diberangkatkan gerbong2nya, semoga sehat2 selalu tuk semuanya

    • Matur nuwun mBahMan,MasPutut Risang,atas wedarannya⛈️

    • Terimakasih Mbah Man dan Mas Putut Risang di tengah2 kesibukannya masih sempat berbagi, semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat, aamiin….

  8. STSD-18 halaman 67-68

    “Sekujur tubuh bersimbah darah?” ulang Ki Wiyaga dengan nada keheranan, “Bukankah dia sama sekali tidak bersenjata?”

    “Ki Wiyaga benar,” sahut Ki Bango Lamatan kemudian cepat, “Namun ilmu menyedot tenaga cadangan lawan itu akan membuat darah di dalam tubuh lawan mengalir keluar melalui pori pori di sekujur tubuhnya.”

    Ki Wiyaga diam diam bergidik ngeri. Betapa dahsyatnya ilmu itu dan kelihatannya dapat digunakan untuk menghabisi lawan tanpa belas kasihan.

    “Lawan akan mati dalam keadaan mengenaskan,” membatin Ki Wiyaga sambil terus menjajari langkah Ki Bango Lamatan, “Tubuhnya akan kering karena darah di dalam tubuhnya seakan akan telah terperas keluar. Benar benar sebuah ilmu yang nggegirisi dan mengerikan.”

    Tanpa terasa langkah kedua orang itu sudah sampai di gerbang pekuburan. Tampak jenasah Pertapa goa Langse itu sudah diturunkan ke liang lahat. Beberapa orang pun sudah mulai menimbuni kembali liang lahat itu dengan tanah bekas galiannya.

    “Apakah kita terlambat?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian

    Ki Wiyaga menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Belum, Ki. Setelah selesai mengubur jenasah itu, masih ada doa yang akan dipanjatkan. Setelah itu barulah kita bubar kembali ke tempat masing masing.”

    Ki Bango Lamatan mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika dia kemudian melemparkan pandangan matanya ke depan, tampak Ki Gede sedang berbisik bisik dengan Ki Rangga. Sementara beberapa langkah di samping mereka Ki Waskita dan Ki Kamituwa tampak sedang asyik membicarakan sesuatu.

    Ada keinginan Ki Bango Lamatan untuk mendekat. Namun niat itu segera diurungkannya ketika melihat Ki Wiyaga justru telah bergeser ke bawah sebatang pohon untuk berteduh dari teriknya sinar Matahari . Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikutinya.

    Dalam pada itu, orang orang yang menimbuni liang lahat itu ternyata telah selesai dan sepasang nisan pun telah terpasang.

    “Pertapa goa Langse,” desis Ki Rangga tanpa sadar membaca sekilas tulisan yang terpasang pada nisan tersebut.

    Ki Gede hanya tersenyum mendengar desis Ki Rangga. Kemudian Ki Gede pun mempersilahkan Ki Waskita untuk kembali memimpin doa.

    Demikian lah akhirnya penyelenggaraan jenasah Pertapa dari goa Langse itu telah selesai. Orang-orang yang hadir di dalam pekuburan itu pun berangsur angsur telah keluar dari area pekuburan. Ki Rangga dan yang lainnya pun telah melangkahkan kaki mereka meninggalkan tempat itu.

    Ketika langkah Ki Rangga dan kawan kawan itu hampir mencapai pintu gerbang pekuburan, tanpa sadar Ki Rangga telah berpaling ke belakang, memandang ke tempat Pertapa goa Langse itu dimakamkan.

    Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan matanya menangkap sesosok tubuh tua renta berpakaian kumal sedang duduk menghadap ke kuburan yang tanahnya masih basah. Orang itu tidak tampak wajahnya karena membelakangi Ki Rangga. Namun dari ujudnya, orang itu terlihat sudah sangat tua renta dan kurus kering tinggal tulang belaka. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih bagaikan kapas itu digelung keatas tanpa selembar ikat kepala, hanya diikat dengan secarik kain yang berwarna hitam kelam.

  9. STSD-18 halaman 69-70

    Berdesir tajam jantung Ki Rangga. Segera saja dia berpaling ke arah Ki Waskita yang berjalan di samping kirinya sambil berbisik, “Ki Waskita, ada seseorang yang tampaknya sedang meratapi kubur Pertapa dari goa Langse itu.”

    Ki Waskita pun terkejut bukan alang kepalang. Secepat kilat dia segera berpaling ke belakang. Namun ayah Rudita itu hanya melihat gundukan tanah yang masih basah.

    Ki Rangga yang ikut kembali berpaling itu darahnya bagaikan tersirap. Sesosok bayangan orang tua renta dengan tubuh kurus kering serta pakaian kumal itu sudah tidak dilihatnya lagi.

    “Aneh,” desis Ki Rangga kemudian. Hampir saja dia menghentikan langkahnya. Namun karena khawatir akan membuat yang lain gelisah dan bertanya-tanya, Ki Rangga pun memutuskan untuk tetap melangkahkan kakinya.

    “Jika apa yang dilihat angger tadi memang benar benar ada, aku jadi teringat cerita Ki Jayaraga,” desis Ki Waskita perlahan lahan sambil tetap menjajari langkah Ki Rangga. Langkah kedua orang itu sengaja dibuat perlahan agar mereka berdua agak terpisah dari rombongan para pelayat yang sedang kembali ke banjar.

    “Mungkinkah yang aku lihat sekilas tadi adalah Pertapa goa Langse yang sebenarnya?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka berdua terdiam.

    “Aku rasa memang demikian, ngger,” jawab Ki Waskita sambil menarik nafas panjang, “Jika memang orang yang mengaku

    Pertapa dari goa Langse itu benar benar murid dan sekaligus anak dari Pertapa goa Langse yang sebenarnya, Glagah Putih benar benar dalam bahaya.”

    Mendengar penjelasan Ki Waskita itu, tiba tiba saja hati Ki Rangga menjadi gelisah. Seolah olah Ki Rangga sedang meninggalkan seorang anak kecil bermain main di pinggir sungai.

    “Akan tetapi ada Ki Jayaraga,” membatin Ki Rangga mencoba menghibur dirinya, “Seandainya Pertapa tua itu mendatangi banjar, semoga dia masih mengenal Ki Jayaraga.”

    Namun hati Ki Rangga masih belum tenang. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, sebaiknya kita segera kembali ke banjar. Aku mengkhawatirkan segala sesuatunya dapat berkembang ke arah yang tidak terduga.”

    “Baiklah ngger,” jawab Ki Waskita sambil ikut mempercepat langkahnya mengikuti Ki Rangga.

    Orang orang yang sedang berjalan di sekitar mereka berdua pun menjadi heran. Pada awalnya kedua orang itu tampak berjalan perlahan lahan. Namun tiba tiba saja sekarang kedua orang itu berjalan seperti sedang dikejar hantu. Begitu tergesa gesanya sehingga seolah olah mereka berdua sedang berlomba jalan cepat.

    Ketika kedua orang itu kemudian melewati Ki Gede dan Ki Kamituwa, Ki Rangga pun menyapa keduanya sambil berkata, “Maaf Ki Gede, kami mendahului. Ada sesuatu yang harus kami kerjakan.”

    Ki Gede yang melihat kedua orang itu berjalan dengan bergegas telah mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Apakah Ki Rangga perlu bantuan?”

    • Ah teringat waktu membaca ADBM kembali, terima kasih embah Man lan putut Risang salam pa Satpam👍

    • Matur nuwun Mbah Man dan Ki Putut Risang

    • Matur nuwun Mbah Man, Mas Putut Risang … tetap semangat !

      • Terimakasih mbah Man dan mas Putut Risang, moga sehat dan sukses selalu, aamiin…

  10. Alhamdulillah matur nuwun ki putut risang, mbah man lan ki satpam atas wedaran ipun, mugi2 pinaringan sehat2 sedoyo kemawon, Aamiin

  11. STSD-18 alaman 71-72

    “O, tidak…tidak Ki Gede,” sahut Ki Rangga sambil berpaling sekilas dan tersenyum. Tanpa mengurangi laju langkahnya Ki Rangga menjawab singkat, “Kami berdua ada keperluan yang sangat pribadi.”

    Ki Gede dan Ki Kamituwa pun saling berpandangan sejenak.

    Namun akhirnya kedua orang itu pun telah tersenyum maklum.

    Demikianlah langkah kedua orang itu benar benar bagaikan sedang dikejar hantu. Ketika keduanya melewati Ki Bango Lamatan dan Ki Wiyaga, Ki Rangga pun berbisik perlahan, “Maaf Ki Wiyaga, aku perlu bantuan Ki Bango Lamatan. Ijinkan Ki Bango Lamatan berjalan mendahului bersama kami.”

    “O, silahkan…silahkan,” jawab Ki Wiyaga kemudian. Ki Bango Lamatan yang telah digamit oleh Ki Rangga segera mengangguk ke arah Ki Wiyaga terlebih dahulu sebelum mempercepat langkahnya menyusul Ki Rangga dan Ki Waskita.

    Ketika regol banjar padukuhan induk itu sudah terlihat, ketiga orang itu hampir saja tidak mampu menahan diri untuk berlari. Namun Ki Rangga segera berkata, “Jangan membuat para pengawal yang sedang berjaga menjadi cemas. Kita pertahankan langkah kita agar tidak menimbulkan kesan yang berlebihan dan kegelisahan.”

    Kedua kawannya itu hanya mengangguk dan tetap berjalan cepat di samping Ki Rangga.

    Sebenarnyalah para pengawal penjaga regol itu menjadi heran melihat ketiga orang itu. Mereka terlihat sangat tergesa gesa memasuki banjar padukuhan induk. Namun tidak ada satupun dari pengawal jaga itu yang berani bertanya.

    Barulah ketika ketiga orang itu telah hilang di balik pintu pringgitan, pemimpin pengawal jaga hari itu telah menarik nafas panjang sambil berkata, “Ada ada saja Ki Rangga dan kawan kawannya itu. Aku kira tadi ada serangan lagi di banjar padukuhan ini. Ternyata tidak. Mungkin mereka hanya ingin pergi ke pakiwan saja.”

    “Mungkin , Ki,” sahut pengawal di sebelahnya, “Namun agak aneh juga jika ketiga-tiganya ingin pergi ke pakiwan semua.”

    “Bukankah di banjar ini pakiwannya ada lebih dari satu?” seorang pengawal yang duduk bersandaran dinding gardu menyela.

    Serentak para pengawal yang sedang berbincang itu menengok ke arahnya. Namun kemudian tampak kepala mereka terangguk angguk.

    Dalam pada itu Ki Rangga dan Ki Waskita serta Ki Bango Lamatan segera memasuki bilik yang digunakan untuk merawat Glagah Putih.

    Agar tidak mengejutkan Ki Jayaraga, Ki Rangga memerlukan mengetuk pintu bilik itu sebelum masuk.

    “Masuklah!” terdengar suara Ki Jayaraga yang berat dan dalam mempersilahkan.

    Sejenak kemudian mereka bertiga pun berturut turut telah memasuki bilik.

    Ki Rangga segera mengambil sebuah dingklik kayu dan kemudian duduk di dekat amben. Sedang Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan segera menyesuaikan diri mencari dingklik kayu yang lain dan kemudian bergabung di sekitar amben.

  12. STSD-18 halaman 73-74

    “Bagaimana keadaannya, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian kepada Ki Jayaraga sambil meraba kening Glagah Putih.

    “Tadi sudah sempat siuman dari pingsannya,” jawab Ki Jayaraga kemudian, “Aku sudah meminumkan obat cair yang telah Ki Rangga siapkan. Syukurlah cairan obat itu bisa dihabiskan Glagah Putih dan agaknya dia sekarang ini sedang tidur lelap.”

    Ki Rangga menarik nafas dalam dalam. Sejenak murid tertua perguruan orang bercambuk itu merenungi tubuh Glagah Putih yang terbujur diam. Hanya dadanya saja yang terlihat naik turun dalam irama yang ajeg.

    “Luka dalam Glagah Putih ini sangat parah,” desis Ki Rangga kemudian sambil memutar tubuhnya menghadap kawan kawannya, “Aku akan meramu sejenis makanan khusus untuk luka dalam yang cukup parah. Untuk sementara Glagah Putih tidak diperbolehkan makan makanan padat terlebih dahulu sampai lambungnya siap.”

    Tampak orang orang yang berkumpul dalam bilik itu mengangguk anggukkan kepala mereka.

    “Ki Rangga benar benar telah menjelma menjadi gurunya sendiri, Kiai Gringsing. Baik dalam ilmu olah kanuragan jaya kawijayan maupun dalam ilmu pengobatan,” berkata Ki Jayaraga dalam hati dengan penuh kekaguman.

    “Ki Jayaraga,” tiba-tiba Ki Rangga berkata membuyarkan lamunan Ki Jayaraga, “Apakah selama kami mengantar jenasah ke pekuburan tadi Ki Jayaraga menerima tamu?”

    Orang orang yang hadir di dalam bilik itu terkejut mendengar pertanyaan Ki Rangga, kecuali Ki Waskita.

    Ki Jayaraga segera menggeser dingkliknya sejengkal ke depan. Jawabnya kemudian, “Dari mana Ki Rangga mengetahui kalau tadi aku menerima tamu di dalam bilik ini?”

    Tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita. Ki Waskita pun tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang belum mengetahui duduk permasalahannya tampak mengerutkan keningnya dalam dalam.

    “Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Tadi sebelum meninggalkan tanah pekuburan, secara tidak sengaja aku telah melihat sesuatu yang sangat mendebarkan?”

    “Apakah itu Ki Rangga?” Ki Bango Lamatan lah yang justru mendahului bertanya dengan nada yang tidak sabar.

    Ki Rangga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Selepas kami meninggalkan makan Pertapa goa Langse itu, ketika mendekati pintu gerbang pekuburan, aku telah menyempatkan diri untuk menengok kebelakang,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun aku menjadi sangat tekejut ketika melihat sebuah pemandangan yang sangat ganjil. Di depan makam Pertapa goa Langse itu aku melihat seorang kakek tua renta dengan tubuh yang kurus kering tinggal tulang belulang saja dan berpakaian kumal tampak sedang meratapi makam itu.”

    Ki Jayaraga segera menarik nafas panjang sambil berdesis perlahan lahan, “Dia lah Pertapa goa Langse yang sesungguhnya.”

    Ki Rangga dan Ki Waskita yang sudah mempunyai dugaan sebelumnya masih tampak terkejut. Apalagi Ki Bango Lamatan. Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu bahkan telah menggeser duduknya lebih mendekat.

    • Matur suwun ki Putut ugi mbah Man mugiyo pinaringan rahayu barokah

    • Matur nuwun Mbah Man dan Ki Putut Risang

  13. Alhamdulillah ki Putut Risang, matur nuwun lan mugi2 pinaringan kesehatan lan salam kangen kagem Ki Satpam sekalian Mbah Man.

  14. Untuk seluruh pengasuh gandok ini semoga selalu diberikan kesehatan agar selalu menciptakan karya terbaik dan segenap canmen salam kenal salm persaudaraan dari JAMBI…Terima kasih untuk karya yg luarrrr biasaaa.

  15. Alhamdulillah, setelah beberapa hari tdk absen di gandok , ternyata banyak rontal yang sudah wedar , dan ceritanya tambah mendebarkan , akankah ada peristiwa setelah Pertapa goa Langse KW ini..?

    Maturnuwun Mbah_Man & Mas Putut Risang , salam sehat dan sukses selalu.

  16. STSD-18 halaman 75-77

    “Pertapa goa Langse yang sesungguhnya? Apa maksud Ki Jayaraga?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian.

    Kembali Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Pandangan matanya terlempar ke langit langit yang sedikit kotor terkena jelaga lampu dlupak. Tampaknya Ki Jayaraga sedang mengingat-ingat masa lalunya.

    “Bagaimana Ki Jayaraga?” Ki Rangga mencoba membangunkan guru Glagah Putih itu dari mimpi masa lalunya.

    Ki Jayaraga tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, ”Aku sama sekali tidak menyangka jika Pertapa tua itu ternyata mempunyai anak angkat yang dipungutnya dari pinggir jalan,” Ki Jayaraga berhentui sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pertapa tua itu begitu menyayanginya seperti menyayangi anak sendiri. Pertapa tua itu tidak mempunyai keluarga sehingga seluruh perhatian dan kasih sayangnya semua tercurah kepada Anggara.”

    “Anggara? Jadi namanya Anggara?” sela Ki Rangga kemudian.

    “Ya, nama sebenarnya lawan Glagah Putih itu adalah Anggara,” jawab Ki Jayaraga kemudian.

    Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang mencoba untuk menilai apa yang telah diceritakan oleh Ki Jayaraga itu.

    “Jadi, Pertapa tua itu telah menyempatkan diri untuk datang ke bilik ini, Ki Jayaraga?” pertanyaan Ki Rangga itu telah membangunkan semua orang dari lamunan mereka.

    “Ya, Ki Rangga,” jawab Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-dalam. Orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun menjadi tegang. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Untunglah dia masih mengenali aku.”

    Ki Rangga dan yang lainnya pun sejenak saling pandang. Bertanya Ki Waskita kemudian, “Apakah dia datang untuk mencari pembunuh anak angkatnya?”

    Untuk sejenak Ki Jayaraga termenung. Namun jawabnya kemudian, “Sebenarnya dia tidak mengetahui jika anak angkatnya itu sudah meninggal. Dia dapat meraba di mana keberadaan anaknya itu untuk terakhir kalinya. Dan dia mendapat isyarat bahwa terakhir kali Anggara berada di banjar ini.”

    Wajah-wajah di dalam bilik itu pun menjadi semakin tegang. Agaknya Pertapa tua itu memiliki sejenis ilmu untuk memantau keberadaan seseorang yang dikehendakinya.

    “Itu tidak aneh menurutku, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga kemudian. Sambil berpaling ke arah Ki Waskita, dia melanjutkan, “Ki Waskita juga mendapat anugrah dari Yang Maha Agung kemampuan seperti itu.”

    Kini semua pandangan beralih ke arah Ki Waskita. Orang tua ayah Rudita itu pun tersenyum maklum sambil menjawab, “Apa yang aku terima hanyalah berupa sebuah isyarat yang kemudian harus aku urai dan aku terjemahkan menurut kemampuan pemahamanku. Kadang karena pengetahuan dan kepahamanku yang terlalu dangkallah, yang membuat aku bisa saja salah dalam membaca isyarat itu.”

    Yang hadir di dalam bilik itu pun menarik nafas panjang. Berkata Ki Jayaraga kemudian, “Memang ilmu seperti itu benar adanya. Bahkan hubungan seorang ibu dengan anak kandungnya secara alamiah mempunyai ikatan yang erat tanpa harus menekuni ataupun mempelajari ilmu seperti itu. Demikian hal itu kadang juga berlaku terhadap saudara kembar.”

    Tampak kepala orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun terangguk angguk.

    “Nah, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kami semua ingin mengetahui apa saja yang dilakukan Pertapa tua itu di banjar ini.”

    Kembali untuk ke sekian kalinya Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Dipandanginya wajah Glagah Putih yang terlihat tidur pulas. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Bahkan nafasnya pun sudah lancar dan teratur sebagaimana orang yang sedang tidur biasa.

    Agaknya Ki Rangga mengikuti arah pandangan Ki Jayaraga. Maka katanya kemudian, “Aneh. Menurut kitab pengobatan yang aku pelajari, diperlukan sehari dua hari untuk mengembalikan tata letak urat nadi dan syaraf di dalam tubuh Glagah Putih sehingga aliran darahnya menjadi lancar. Demikian juga aliran pernafasannya.”

    Ki Jayaraga mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Aku juga merasa heran Ki Rangga. Ketika Pertapa tua itu tiba tiba saja sudah berada di sampingku, aku sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukannya kemudian. Untung dia masih mengenalku sebagai Jayaraga.”

    “Apa yang dilakukanya kemudian, Ki?” sahut Ki Bango Lamatan. Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu agaknya menjadi tidak sabar untuk menahan diri.

    Ki Jayaraga tersenyum. Sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan dia menjawab, “Dia hanya duduk di bibir amben itu.

  17. STSD-18 halaman 78-80

    Kemudian dia meraba dada Glagah Putih beberapa saat. Ketika Pertapa tua itu kemudian melepaskan tangannya dari dada Glagah Putih, aku melihat Glagah Putih yang sebelumnya bernafas dengan sedikit berat, tiba tiba saja sudah bisa bernafas dengan longgar sebagaimana biasanya.”

    “Syukurlah,” hampir berbareng orang orang itu berdesis perlahan. Ki Rangga pun kemudian melanjutkan, “Aku yakin Pertapa tua itu sebenarnya berhati sangat mulia. Akan tetapi aku tidak habis pikir, mengapa Anggara sebagai murid dan sekaligus anak angkatnya kemudian mempunyai sikap seperti itu?”

    “Mungkin lingkungan yang telah mengubah cara bepikir serta pandangan hidupnya,” sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Atau ada seseorang yang telah mempengaruhinya.”

    “Ki Waskita benar,” sela Ki Jayaraga kemudian, “Pertapa tua itu memang sekilas mengeluhkan murid sekaligus anak angkatnya. Memang Anggara dipelihara sejak dia masih belum mengetahui jati dirinya dan Pertapa tua itu selalu mengaku sebagai ayah kandungnya.”

    “Perhatian serta kasih sayang yang berlebihan kadang dapat menjerumuskan seseorang,” berkata Ki Waskita kemudian menanggapi, “Apalagi Anggara tidak pernah mengenal dunia luar sebelumnya. Sehingga ketika dia diberi kesempatan untuk melihat dunia luar, mungkin dia menjadi silau dan keseimbangan penalarannya pun terganggu.”

    Kembali terlihat setiap kepala terangguk angguk. Berkata Ki Rangga selanjutnya kemudian, “Kita wajib berterima kasih kepada Pertapa tua itu atas pertolongannya kepada Glagah Putih.”

    “Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Namun ada satu hal yang membuat aku gelisah, bahkan aku takut untuk mengatakannya.”

    Wajah wajah yang telah tenang itu pun menegang kembali. Pandangan mata semua orang pun kini tertuju kepada Ki Jayaraga dengan kening yang berkerut merut.

    “Maksud Ki Jayaraga?” sela Ki Rangga cepat.

    Kembali sebuah tarikan nafas yang panjang dan dalam terdengar sebelum Ki Jayaraga menjawab. Namun bagaimana pun keadaannya, senang atau tidak senang pesan itu harus disampaikan.

    “Ki Rangga” berkata Ki Jayaraga kemudian dengan nada yang setenang mungkin, “Sebelum meninggalkan bilik ini, Pertapa tua itu telah menitipkan sebuah pesan untuk Ki Rangga.”

    “Pesan?” hampir bersamaan mereka yang hadir di dalam bilik itu mengulang.

    “Ya, sebuah pesan,” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sekarang suaranya terdengar sedikit bergetar.

    Dada Ki Rangga pun terasa berdesir tajam. Namun sebagai kakak sepupu dan sekaligus sebagai salah satu guru Glagah Putih, dia memang telah siap mengambil alih semua tanggung jawab atas terjadinya peristiwa itu.”

    “Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Seperti yang telah aku sampaikan sebelumnya. Apa yang telah terjadi ini menjadi tanggung jawabku. Tanggung jawab sebagai kakak dan sekaligus guru dari Glagah Putih,” Ki Rangga berhenti sejenak sekedar untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun lebih dari itu, semua adalah tanggung jawabku sebagai kepala rombongan kecil ini atas perintah dari penguasa Mataram melalui Ki Patih Mandaraka.”

    Tanpa terasa, dada orang orang yang hadir di dalam bilik itu telah bergetar. Ki Rangga benar benar seorang pemimpin yang dapat dicontoh dan diteladani. Jika telah ditunjuk menjadi seorang pemimpin, kesalahan apapun yang diperbuat anak buahnya akan menjadi tanggung jawabnya juga, tanpa melepaskan tanggung jawab yang harus dipikul oleh anak buah yang melakukan kesalahan itu. Seorang pemimpin memang pantang untuk tinggal glanggang colong playu.

    “Nah, sampaikan saja pesan itu, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian.

    Sejenak suasana menjadi sunyi. Semua menunggu Ki Jayaraga untuk menyampaikan pesan dari Pertapa tua itu.

    “Ki Rangga,” berkata Ki Jayaraga pada akhirnya, “Pertapa tua itu hanya berpesan bahwa, urusan seorang murid biarlah menjadi urusan sesama murid, sedangkan urusan seorang guru, tentu saja menjadi urusan dengan sesama guru.”

    Tergetar semua jantung mereka yang hadir. Untuk beberapa saat suasana menjadi sangat sunyi sekali. Yang terdengar hanyalah suara desah nafas Glagah Putih yang terdengar dalam irama yang teratur.

    —————–oOo—————

    Bersambung ke jilid 19

    • Matur nuwun Mbah Man, Mas Putut Risang … tetap semangat, lanjut STSD 19 !

  18. Alhamdulillah…
    Dua gerbong panjang terakhir rontal STSD 18 sudah bisa diberangkatkan.
    Monggo…., teman sambil ngopi saat hujan gerimis menggericik sepanjang siang-sampai sore ini.
    Gandok selanjutnya akan segera dibangun.

    • Alhamdulillah Ki Putut dan mbah Man semoga pinaringan sehat saget nglanjutaken wedaran STSD 19 amien

      • Alhamdulillah jilid 18 sdh khatam, terimakasih atas kesediaannya berbagi dan semoga Mbah Man dan Mas Putut Risang selalu dalam keadaan sehat wal afiat, aamiin…

        • Amin, Amin YRA

    • Alhamdulillah… ki Putut R, mugi2 tansah pinaringan keseger warasan, rejeki ingkang cukup, lan umur panjang Aamiin…Aamiin…. Aamiin Yaa Robbal Aallamiin

  19. Alhamdulillah jilid 18 udah selesai semakin menegangkan dan siap2 pindah gandok… Matur nuwun mbah Man dan Ki Putut Risang..

    • Maturnuwun mBahMan KiPutut Risang atas wedarannya,

  20. Alhamdulillah, matur nuwun
    Sambil menebak gambar sampul, apakah perjalanan ke Perdikan Menoreh?

  21. Hari demi hari semakin mendebarkan

  22. Untuk stsd jilid 19 halaman 13 dst dimana mbah?

  23. Alhamdulillah, geh suwun ki Arema, ngaputen saget kulo namung dongo mugi2 ki Areman kalian mbah Mbah dipun paringi seger kawaras lan katah rejekine Aamiin…Aamiin…Aamiin Yaa Robbal Aallamiin.


Tinggalkan komentar