TADBM-402

<< kembali ke TADBM-401 | lanjut ke TADBM-403 >>

TADBM-402

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 28/08/2013 at 10:15  Comments (1.322)  

The URI to TrackBack this entry is: https://cersilindonesia.wordpress.com/tadbm-402/trackback/

RSS feed for comments on this post.

1.322 KomentarTinggalkan komentar

  1. Hadir no1233, Barusan salah masuk gandhok

    • ha ha ha …., itu kamarnya Endang Trinil Ki

  2. Mborong no cantik 1234

  3. Nuwun

    Dongeng Arkeologi & Antropologi Ratu Kalinyamat masih berlanjut. Berikut cuplikan dongengnya:

    Kembali kapal-kapal perang Ratu Kalinyamat melakukan penyerbuan melawan orang-orang kulit putih bangsa Portugis di perairan Laut Jawa, dengan armada lautnya yang sangat tangguh.

    Sri Bupati Jêpårå Rêtnå Kêncånå Ratu Kalinyamat, dia adalah Sang Senapati Sarwajala, seorang Laksamana Laut, Panglima Gabungan Angkatan Laut Tiga Kesultanan: Demak, Cirebon dan Banten, bahu-membahu dengan pasukan Persekutuan Tanah Melayu, berperang melawan armada Portugis di Semenanjung Melaka. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka.

    Di perairan Ambon, Sang Ratu dengan gabungan arnada kapal perangnya dari Jepara, Demak, Kesultanan Banten, Sunan Giri, Kesultanan Gowa Makassar, bersama-sama orang-orang Ambon dari Kesultanan Ternate dan Tidore, dan Kesultanan Tanah Hitu, berhasil memukul mundur tentara-tentara bangsa Portugis dari kaum Hative.

    Kembali Sang Såkå Gulå Kêlåpå. Sang Saka Merah Putih berkibar di puncak tiang utama kapal-kapal perang Sang Ratu.

    Dia adalah Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, (Ratu cantik jekita dari Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani).

    Demikian kutipan dari buku Tome Pires, Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina), yang di tulis pada abad ke-16, di tahun-tahun 1512 sd 1515.

    Tome Pires adalah penulis dan bendahara Kerajaan Portugal yang pernah berkunjung ke Nusantara pada tahun-tahun 1512-1515.

    Naskah Suma Oriental ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Portugal: Emanuel, tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis.

    Di abad yang sama di tahun 1599, di Tanah Rencong, Keumalahayati, yang lebih dikenal dengan sebutan Malahayati, seorang perempuan pejuang dari Kesultanan Aceh.

    Dia adalah Laksamana Laut Kesultanan Aceh, yang memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan karenanya dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati

    Ratu Kalinyamat tidak menyorongkan keindahan tubuh sintalnya yang telanjang saja, sebagaimana ditulis dalam kitab-kitab babad.

    Sang Ratu mempunyai jiwa kebangsaan yang tinggi, terbukti bendera Sang Saka Gula Kelapa Merah Putih dikibarkan di atas tiang utama kapal-kapal perangnya, ketika dia sebagai Laksamana Laut, sebagai Panglima Gabungan Angkatan Laut Tiga Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten mengusir penjajah bangsa Portugis dari perairan Jawa, Malaka dan Ambon. Sejarah telah mencatatnya.

    Sejarah juga mencatat Laksamana Malahayati, Inong Balee, perempuan dari Aceh yang bertempur melawan penjajah Belanda.

    Berbanggalah kita, berbanggalah perempuan Indonesia.
    Apakah para sanak-kadangku para mentrik ikut bangga ?

    Bagaimana dongeng selanjutnya. Mohon menunggu dengan sabar.

    Nuwun

    punåkawan

    • tentu ki puna… ternyata negeri ini banyak memiliki kesatria2 wanita… tp sayang, kurang diekspos di buku2 sejarah di sekolah2….

    • Suwun Ki Puna

    • lanjut ki….
      mudah2an ada yang segera mengangkat sejarah ini ke layar kaca…
      Film Laksamana Malahayati (Inne Febrianti) pernah ditayangkan TVRI, sayangnya tayang tengah malam…
      coba di Tipi swasta…

  4. Hadir, menyimak Dongeng Arkeologi Ki Punakawan dan menunggu wedaran rontal Mbah_Man …… tetap semangat !

  5. ki puna kerennn…… sugeng siang kangmas satpam….. sugeng siang sedhoyo

  6. Nuwun,

    Tansåyå dalu araras…..
    abyor lintang kang kumêdar…
    titi sonyå madyå ratri..
    kongas gandhaning sêkar gadung mangambar…

    Malam semakin larut, kerlap-kerlip bintang di langit lazuardi
    Saat sonya telah lewat tengah malam
    Semerbak kembang arum dalu mewangi

    Di saat telah lewat tengah malam ini, saya mengajak sanak kadang untuk sejenak merenung tentang diri kita. Tentang perilaku kita. Seberapa jauh kita telah mensyukuri semua nikmat yang Tuhan berikan kepada kita.

    Dari neraca perjalanan hidup kita, manakah yang lebi berat timbangannya. Rasa syukur kita kepada Tuhan atau kita justru sering melalaikannya.

    Sumånggå kasimak kanti wêninging galih

    Dongeng Ayam Goreng

    naskah telah dipindah ke https://cersilindonesia.wordpress.com/dongeng%20punakawan/href=%22//cersilindonesia.wordpress.com/dongeng-punakawan/35/

    • Aamiin ya Rabbal’alamiin …..

    • amiin….
      maafkanlah hambaMu ya Allah yang sering lupa atas segala nikmat karuniaMu yang tak terbatas…

    • bener2 menyentuh hati ki,semoga jadi peringatan buat kita semua amin.

    • Begitulah manusia Ki Puna
      Pada saat sehat, Risang tidak pernah menghitung berapa nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada Risang.
      Begitu satu gigi sakit (susah untuk diceritakan sakitnya sakit gigi), baru Risang menyadari nikmat Allah yang diberikan kepada Risang atas kesehatan gigi selama ini.
      satu gigi lupang bisa dihitung biayanya, cabut satu gigi bisa dihitung biayanya, nyabut semua gigi bisa dihitung biayanya. Yang tidak bisa dihitung adalah, susahnya pada saat sakit gigi, yang tidak bisa makan enak, tidur nyenyak dll.
      belum mata, hidung, telinga, tenggorokan, jantung, hati, dll. yang sakit
      Risang dengar, katanya pasang satu ring jantung saja 40 juta (betul gak ya?).
      Cangkok hati spt P. Dahlan Iskan habis berapa ya?,
      hmm…..
      dalam bentuk rupiah, kalau ditotal kira-kira berapa M atau T ya yang telah diberikan kepada kita dibandingkan kalau semua yang telah diberikan kepada kita itu rusak semua dan perlu diservis.
      gitu ya gak mau bersyukur, he he he …..
      Risang jadi malu…

  7. Suwun Ki Puna… Sugeng enjang all…
    Mbah man,ai setil waiting 4 yuuuuu…

  8. Hadir, dengan mata berkaca-kaca, matur nuwun Ki Punakawan ….. tetap semangat !

  9. Leres ki Puna, rasa syukur itu yang sering kita lupakan betapa nikmat Allah dan Rahmatnya begitu banyak yang telah kita terima,
    Pernah saya dengar cerita pada suatu tempat ada malaikat yang ruangannya luas dan di sana banyak malaikat yang sangat sibut mencatat dengan buku- buku yang besar, semua buku hampir penuh ditulisnya. maka Rosulullah bertanya pada Jibril ruangan apakah itu, maka di jawab bahwa ruangan itu adalah tempat malaikat mencatak permohon manusia-manusia, dan Rosulullah melanjutkan perjalanan ke tempat lain, di situ ada satu ruangan yang hanya di tunggui oleh satu maikat dan malaikat tersebut hampir-hampir tidak ada aktifitas maka Rosulullah pun heran dan bertannya pada Jibril, ruangan apakah ini? maka di jawah oleh Jibril bahwa ruangan ini adalah tempat malaikat untuk mencatat manusia-manusia yang bersyukur atas nikmat Allah.

  10. Nuwun

    Kultum selepas Sholat Dzuhur.

    Si Tamak dan Si Pendengki

    Tersebutlah dua orang hidup bertetangga. Namun sangat disayangkan keduanya memiliki sifat buruk. Yang satu orangnya tamak, oleh karenanya orang-orang menyebutnya Si Tamak, ia tidak pernah puas dengan apa yang ia peroleh.

    Adapun yang satu orang-orang menjulukinya Si Pendengki, ia tidak pernah suka jika orang lain mendapatkan kegembiraan.

    Dalam ketamakannya, Si Tamak berdoa agar semua keinginannya selalu dikabulkan. Dan karena kedengkiannya, Si Pendengki berharap agar apa pun yang didapat Si Tamak, ia ingin mendapatkan dua kali lebih banyak.

    Dan Tuhan Maha Pengasih, dikabulkan semua permohonan hamba-hambaNya tanpa kecuali.

    Gusti Allah ngujå kabèh pênjaluké. Allah membiarkan orang-orang itu tenggelam dengan segala apa saja yang dia inginkan.

    Suatu saat Si Tamak berdoa mengharapkan sebuah kamar penuh terisi emas, dan doanya terkabul, dengan demikian Si Pendengki pun turut memperolehnya, bahkan ia mendapatkan dua buah kamar yang penuh terisi emas. Ia mendapatkan dua kali lebih banyak daripada Si Tamak.

    Tak lama kemudian Si Tamak memohon kepada Tuhan agar diberikan seorang wanita yang cantik jelita sebagai istrinya. Permohonan inipun dikabulkan, Demikian juga Si Pendengki, dia mendapatkan dua orang wanita cantik.

    Melihat hal itu, membuat Si Tamak penasaran, apa-apa yang dia minta kepada Tuhan selalu dilampaui oleh Si Pendengki. Tetangganya yang pendengki itu selalu mendapatkan dua kali lebih banyak daipada dirinya.

    Tak tahan melihatnya, Si Tamak tak sengaja berucap, “Tuhan. Butakan saja sebelah mataku sehingga aku tidak perlu melihat tetanggaku memilikinya!”

    Terjadilah apapun yang harus terjadi. Dan Tuhan mengabulkan Si Tamak. Dengan demikian tetangganya yang pendengki pun, ia mendapatkan dua kali lebih banyak. Sekarang kedua matanya tidak dapat melihat.

    Nuwun

    punåkawan

    • slamat siang ki puna..turut nyimak sambil menunggu rontal dari mbah_man..

    • Hadir, maturnuwun Ki Punakawan ….

  11. slamat siang ki puna..turut nyimak sambil menunggu rontal dari mbah_man..

  12. Ingak inguk di gandok kok aku cantik sendiri, mentrikbelle pada kemana ini?????

    • kok aku cantik sendiri,

      He he he he.
      iya deh, Jeng Laras memang cantik sendiri koq

    • kok tahu….

      • Atas`dasar ‘pengakuan’ ybs:

        “Ingak inguk di gandok kok aku cantik sendiri

        🙂

  13. Hadir, maturnuwun Ki Punakawan ….

  14. Ingak inguk lagi…. mmmm…sekarang baru merasa kalo aku gak cantik sendiri,karena ada Ki Puna dan Dimas Risang yang lebih cuantikkk lagi…

    #lariiiiii….hehehe

    • Ini merupakan ‘pengakuan’ yang belum dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan. Jadi hukumnya batal.

      🙂

    • wo…..

    • yakinkah klo “LARASATI” iki mentrik tulen ???…..

      mana buktinya …????

  15. Dalam rangka memperingati Hari Soempah Pemoeda 1928, Risang “curikan” gambar ini dari Gandok sebelah (dengan harapan yang bersangkutan tidak marah, he he he …)

    Sumpah Pemuda 1

    Sumpah Pemuda 2

  16. Monggo Ki Puna, memberi ular-ular tentang Hari Sumpah Pemuda tersebut.

  17. Lanjutan TADBM 402

    Hampir bersamaan Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang mengangguk anggukkan kepala mereka. Sambil menggerakkan kendali kudanya, akhirnya mereka berduapun mohon diri.

    “Kami mohon diri, Ki Dukuh,” berkata Ki Rangga kemudian, “Mohon ma’af telah merepotkan Ki Dukuh dan tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bantuan yang diberikan kepada kami selama berada di Padukuhan Ngadireja.”

    “Ah,” Ki Dukuh tertawa pendek, “Merupakan suatu kehormatan bagiku mendapat kunjungan dari Ki Rangga dan Ki Ageng. Semoga perjalanan Ki Sanak berdua selamat sampai tujuan.”

    “Terima kasih, Ki Dukuh,” hampir bersamaan keduanyapun menjawab.

    Demikianlah akhirnya, ketika Matahari masih malu malu untuk menampakkan wajahnya di ufuk timur, kedua orang yang pinunjul ing apapak itu telah memacu kuda mereka di jalan jalan berbatu menuju ke kademangan Sangkal Putung.

    Sebelum mencapai kademangan Sangkal Putung yang subur itu, mereka masih harus menembus hutan yang cukup lebat di sisi utara gunung Kukusan. Ada sebuah telaga yang berair sangat jernih di dalam hutan itu, namun mereka merasa tidak perlu berhenti untuk sekedar menikmati pemandangan yang sangat indah itu karena berbagai masalah telah menunggu mereka.

    Ketika Matahari telah memanjat semakin tinggi, kedua orang itu telah mendaki lereng gunung Kukusan yang tidak seberapa tinggi. Dengan berbekal ketrampilan mereka dalam menunggang kuda, keduanya tetap memacu kuda kuda mereka dengan kecepatan sedang.

    “Aneh,” tiba tiba saja Ki Ageng bergumam pelan.

    Ki Rangga yang berpacu di sebelahnya berpaling sambil tersenyum, katanya kemudian, “Maksud Ki Ageng penunggang kuda yang selalu mengikuti kita sejak kita keluar dari gerbang padukuhan Ngadireja tadi?”

    “Ya,” jawab Ki Ageng sambil menarik nafas dalam dalam, “Ataukah kita ini yang semakin tua justru tidak semakin mengendap.”

    “Bukan begitu, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga cepat, “Beban pekerjaan kitalah yang kadang kadang mengharuskan seseorang itu selalu waspada, bukan curiga. Karena sebenanyalah kita hanya berhati hati menghadapi setiap perubahan yang terjadi di sekeliling kita.”

    Ki Ageng mengangguk anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Engkau benar Ki Rangga. Bagi Ki Rangga yang mengemban tugas sebagai Prajurit tentu saja hal ini adalah lumrah, bahkan cenderung wajib bagi seorang prajurit untuk selalu waspada. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah tentang aku sendiri. Apakah keterlibatanku dalam urusan pertentangan antara Mataram dan Panaraga? Seharusnya aku sudah bisa sumeleh dan pasrah kepada Yang Maha Agung atas segala apa yang akan terjadi kemudian.”

    “Itu tidak mungkin Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil berpaling ke belakang. Orang berkuda yang mengikuti mereka sejak keluar dari pintu gerbang padukuhan Ngadireja itu masih saja mengikuti mereka dalam jarak yang tetap.

    “Mengapa?” bertanya Ki Ageng sambil mengikuti arah pandangan Ki Rangga ke arah belakang, “Bukankah segala sesuatu itu sudah tertulis dalam cacatanNya? Segala gerak kehidupan ini telah tertulis jauh sebelum alam ini diciptakanNya.”

    “Yang itu aku setuju, Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil memacu kudanya agak cepat, kemudian katanya setengah berbisik, “Kita berpacu agak cepat Ki Ageng. Aku ingin melihat, apakah orang yang di belakang kita itu juga akan memacu kudanya?”

    Ki Ageng mengangguk. Dengan sebuah sentakan, kudanyapun kemudian berderap cepat mengikuti kuda Ki Rangga.

    Setelah sejenak mereka berdua berpacu menuruni lereng gunung Kukusan sebelah barat, keduanya pun kemudian menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang menuju sebuah padang perdu yang luas.

    Ketika mereka mulai menyeberangi padang perdu yang luas itu, hampir bersamaan mereka berdua telah berpaling ke belakang.

    Dada kedua orang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu bagaikan meledak ketika mereka melihat seorang penunggang kuda yang mengenakan caping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya telah muncul dari ujung hutan itu dan mulai memacu kudanya di atas jalan setapak.

    • Hadir, dengan semangat “Sumpah Pemuda” walau sudah tua, matur nuwun Mbah_Man hadiah 28 Oktobernya ….. tetap semangat !

  18. akhirnya keluar jg tutukannya….trims Mbah Man….

  19. Suwun Mbah

  20. @Ki Puna : hadeeeuuhh lha kok aku malah dicurigai??? Mbah_Man yang udah pernah denger suaraku…. Mbah maaann..tolong Mbah,kulo meniko estri menopo jaler,mung panjenengan saksi hidup….
    Tolong beri keterangan yg benar dan jelas…

    • HIks….

      Nyuwun sèwu diajêng Larasati (laras ning ati), ngapuntên, yang mencuri gai itu sanès punåkawan, ananging Ki Agêng Pandanalas.
      Kalau punåkawan yakin haqul yakin bilih diajêng Larasati punika wanitå tulen……. hiks ( 🙂 senyum )

      Kapan-kapan punakawan akan mêdar dongèng tentang
      Wanitå

      Nuwun

      punåkawan

      • kulo mboten mencuri gai….namung badhe mbuktek aken…
        cobi mang inbox no HP nipun, mangke kulo kirimi aji pameling

        • Usaha terus yach….

  21. Aduh maaf sampe lupa, terimakasih mbah wedarannya….

  22. “Wanita” tegese wani ditata..
    Wadon tegese panggonane wadi..

    Tembang “Pucung”

    Wadon iku..
    Pralambang setyaning tuhu..
    Jejeging nagara..
    Lelabuhmu pan sayekti..
    Sura dira swuh brasta mring darmastuti..

  23. Soempah Pemoeda

    Naskah teks Sumpah Pemda yang kita kenal sekarang berturur-turut sebagai berikut:

    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
    Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

    (Kutipan naskah “asli” dari tekas Sumpah Pemuda)

    Lalu mengapa hampir di setiap penulisan, penerbitan bahkan pada upacara-upacara, butir ketiga teks berganti menjadi:

    Kami putra dan putri Indonesia berbahasa yang satu, bahasa Indonesia

    Benarkah ?

    Tetapi lebih daripada itu, sejak kapan tanggal 28 Oktober 1928 disebut sebagai Hari Sumpah Pemuda?

    Pertanyaan selanjutnya: Benarkah teks yang telah satu kutip di atas benar-benar naskah asli Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 ?

    Mohon bersabar, menunggu dongeng punåkawan.

    Nuwun

    punåkawan

  24. @Ki PA: tak inbox yo… Tak wenehi alamatku kaliwungu Kendal,tanya pak RT setempat kalo njenengan mencurigaiku…
    Eh,iya ya Ki Puna… Salah baca nama,ngapunten ingkah kathah… Lanjut dongengane Ki…

  25. @Ki PA/Ki NY/Ki KK : hmmmmm…alasan yg bagus utk minta nmr hp wkwkwkwk monggo udah tak inbox nmrnya…

    • keokeokeo………namanya juga usaha koq NyiL

      • percoyo aku saiki…..mentrik tulen

  26. Lanjutan TADBM 402

    Ki Rangga Agung Sedayu yang telah berada di tengah tengah bulak itu tiba tiba telah menghentikan laju kudanya sehingga kuda yang terkejut itu telah meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya keatas. Dengan sigap ki Rangga mencoba mengendalikan kudanya yang terkejut itu, sedangkan Ki Ageng yang menyadari kawan seperjalanannya telah berhenti dengan tiba tiba telah mencoba menahan laju kudanya dengan perlahan lahan sehingga sekitar sepuluh tombak kemudian kuda Ki Ageng telah berderap dengan perlahan. Sambil memutar arah kudanya, Ki Ageng kemudian menggerakkan kudanya menuju ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata telah meloncat turun dari kudanya.

    “Bagaimana Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng sambil mengikuti Ki Rangga meloncat turun dari kudanya, kemudian setelah mengikat kudanya di sebelah kuda Ki Rangga pada sebatang pohon perdu, Ki Ageng pun akhirnya mengikuti Ki Rangga duduk di bawah bayang bayang sebatang pohon randu alas yang tumbuh menjulang cukup tinggi di tengah tengah padang perdu itu.

    Ki Rangga tidak menjawab, hanya meletakkan telunjuk jarinya di atas bibirnya. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon randu alas yang cukup besar itu, Ki Rangga pun memejamkan matanya.

    Agaknya Ki Ageng pun menyadari apa yang di kehendaki oleh Ki Rangga. Maka sejenak kemudian Ki Ageng pun telah duduk bersila di samping Ki Rangga sambil terkantuk katuk.

    Demikianlah orang yang mengikuti Ki Rangga dan Ki Ageng sejak dari regol Paduluhan itu terkejut ketika menyadari kedua orang yang diikutinya ternyata telah berhenti justru di tengah padang perdu yang luas. Tidak ada kesempatan baginya untuk bersembunyi atau pura pura berhenti melepaskan lelah karena jarak mereka yang semakin dekat. Akhirnya orang itu memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.

    Ketika kuda yang ditungganginya berderap hanya beberapa langkah saja di depan Ki Rangga dan Ki Ageng yang sedang duduk melepaskan lelah di bawah sebatang pohon randu alas, orang itu tampak sekilas berpaling. Namun karena caping lebar yang dikenakannya telah menutupi hampir seluruh wajahnya, Ki Ageng dan Ki Rangga tidak mampu mengenali wajahnya.

    Akhirnya Ki Rangga perlahan lahan bangkit berdiri sambil menarik nafas dalam dalam. Sambil mengibas kibaskan kain panjangnya yang terkena rumput rumput kering, katanya kemudian, “Seandainya hal ini terjadi beberapa tahun silam, aku sudah dapat menduga siapakah orang berkuda itu.”

    Ki Ageng yang ikut bengkit berdiri mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Maksud Ki Rangga?”

    Sejenak Ki Rangga tesenyum sambil memandang ke arah ki Ageng yang berdiri termangu mangu sambil mengerutkan keningnya. Kata Ki Rangga kemudian, “Dulu aku sering bertemu dengan orang berkuda atau berjalan kaki yang suka mengikuti jalanku. Orang itu adalah Pangeran Benawa.”

    “Pangeran Benawa?” ulang ki Ageng. Kerut merut di dahinya semakin dalam.

    “Ya, Pangeran Benawa,” sahut Ki Rangga, “Tentu saja orang berkuda itu tadi pasti bukan Pangeran Benawa.”

    “Ah,” desah ki Ageng, “Tentu saja bukan, Pangeran yang kecewa itu telah meninggalkan kita untuk selama lamanya, namun kesederhanaan sikapnya sebagai seorang Pangeran telah membekas di hati para kawula alit.”

    Ki Rangga Agung Sedayu menganguk anggukkan kepalanya, katanya kemudian sambil berjalan ke arah kudanya ditambatkan, “Marilah Ki Ageng. Mungkin orang berkuda tadi hanya sekedar lewat dan kita yang terlalu berprasangka.”

    “Mungkin,” berkata Ki Ageng sambil melepaskan ikatan kudanya, “Kademangan Sangkal Putung sudah dekat. Sebaiknya setelah kita menyeberangi padang perdu ini, kita berpisah untuk meneruskan perjalanan masing masing. Aku akan menembus hutan sebelah utara sampai ke Padukuhan Nguter.”

    Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya, “Baiklah Ki Ageng, semoga perjalanan Ki Ageng lancar sampai tujuan.”

    “Kita sama sama berdoa Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, “Jangan lupa sebelum empat puluh hari, Ki Rangga sudah harus ke gunung Kendalisada.”

    Ki Rangga menarik nafas dalam dalam, sejenak ingatannya kembali kepada seorang perempuan muda yang sangat cantik namun selalu berwajah murung, Anjani.

    • Matur nuwun Mbah_Man dobelanipun ….

    • matur sembah nuwun rontalnya mbah man…. hiksss.. kalimat “berwajah murung” mengingatkan ke Pandan Wangi… Apa sebenarnya tipe Ki Rangga niku yang “berwajah murung” ya…? upsss..

    • Satu rontal lagi mbah
      Gandok 402 bisa ditutup untuk buka gandok 403.

      nuwun

  27. Uups ada lagi… Terimakasih mbah…

  28. Ups…., baru tahu kalau ada rontal yang jatuh dari Padepokan Sekar Keluwih, tetapi Risang baru ngintip saja, belum bisa membacanya.
    Nanti malam saja deh, dibaca sekaligus ditata di gandoknya.

  29. matur nuwun…yang ditunggu, dinanti akirnya datang juga…salam sejahtera mbah, semoga sehat selalu

  30. *Thn 1928 : Soempah Pemoeda
    *thn 1990 : Sumpah Pemuda
    *thn 2011 : sump4h p3mud4
    *thn 2012 : cummpaahh? Miapaahh?
    *thn 2013 : sumpahisasi pemudaisasi

    #tulisan ini mengandung humor,saestu….

  31. Matur suwun Mbah

  32. Hadir, diawal musim hujan ….. tetap semangat !

  33. Lanjutan TADBM 402

    Dalam pada itu, di rumah Ki Dukuh Ngadireja telah terjadi kesibukan yang melibatkan para tawanan dan prajurit Mataram di jati Anom yang kini sedang mengemban tugas mengamati keadaan di Kademangan Sumbaratan. Para prajurit itu harus mengawal para tawanan bergantian untuk pergi ke pakiwan sekedar membersihkan diri. Setelah makanan di dapur telah siap, para tawanan yang akan di bawa ke Mataram itupun terlebih dahulu diberi makan pagi agar perjalanan mereka ke Mataram tidak menemui halangan yang berarti.

    Setelah para prajurit juga mendapatkan ransum, pemimpin prajurit yang berpangkat Lurah telah memberi aba aba utuk segera mempersiapkan diri meninggalkan padukuhan Ngadireja.

    “Ki Dukuh,” berkata Lurah Prajurit itu, “Kami telah mendapat pesan dari Ki Rangga Agung Sedayu untuk berangkat ketika Matahari mulai naik sepenggalah. Dengan demikian sekarang ini sudah waktunya kami berangkat,” Lurah Prajurit itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Kami sangat berterima kasih atas segala bantuan Ki Dukuh. Hal ini akan kami laporkan kepada atasan kami Tumenggung Untaradira di Jati Anom agar mendapatkan perhatiannya.”

    “Ah, itu tidak perlu Ki Lurah,” sahut Ki Dukuh cepat, “Atas nama para penghuni padukuhan Ngadireja, kami justru sangat berterima kasih atas bantuan para prajurit Mataram untuk menjaga keamanan di lingkungan kami.”

    Ki Lurah itu mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil mengamati pasukannya yang telah bersiap siap berangkat mengawal para tawanan ke Mataram, dia berkata kepada Ki Dukuh, “Kami mohon diri, Ki Dukuh. Semoga perjalanan kami tidak ada suatu gangguan apapun.”

    “Aku ikut berdoa, Ki Lurah,” berkata Ki Dukuh sambil menganggukkan kepalanya.

    Demikianlah sejenak kemudian rombongan prajurit yang membawa para tawanan itu mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Ki Dukuh Ngadireja.

    Rombongan yang tidak seberapa besar itu bergerak secara perlahan di jalan berbatu batu. Semua anggota di dalam rombongan itu berkuda. Para tawanan berkuda dengan tangan terikat dan dikawal oleh beberapa prajurit dengan senjata terhunus.

    Rombongan itu memang sempat menarik perhatian sepanjang perjalanan, namun ketika orang orang yang berpapasan mengenali seragam prajurit Mataram yang dikenakan oleh sebagian besar anggota rombongan itu, mereka pun segera menyadari bahwa mereka adalah sepasukan prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas.

    • matur nuwun wedarannya mbah.tunggu berikutnya

    • Lanjutan TADBM 402

      Semakin lama rombongan prajurit itu semakin jauh meninggalkan padukuhan Ngadireja. Mereka tidak bisa berpacu dengan cepat justru karena ada beberapa tawanan di antara mereka. Para prajurit yang bertugas mengawal para tawanan itu tidak boleh lengah sekejap pun, karena kelengahan yang hanya sekejab dapat berubah menjadi sebuah kehancuran.

      Ki Lurah yang berkuda di paling depan sejenak mengerutkan keningnya ketika mereka mulai menyusuri jalan setapak di pinggir hutan. Di depan mereka terbentang padang perdu yang luas dengan beberapa pohon pohon besar yang tumbuh berselang seling dengan semak belukar. Sejauh mata memandang, tampak gerumbul gerumbul liar yang menyimpan seribu kemungkinan. Ada kalanya binatang buas bersembunyi di sela sela gerumbul perdu itu, namun tak jarang segerombolan penyamun bersembunyi menunggu kurbannya lewat.

      Tiba tiba dada Ki Lurah berdesir tajam ketika pandangan matanya tertumbuk pada sebuah bayangan seseorang yang dengan tenangnya duduk di atas seekor kuda yang berjalan perlahan lahan berlawanan arah dengan rombongan prajurit itu.

      Penunggang kuda yang bercaping lebar itu memang masih cukup jauh, hampir di ujung padang perdu yang berlawanan arah dengan rombongan Ki Lurah. Namun sikapnya sangat mendebarkan, mengendalikan kuda dengan tenang seolah olah tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya.

      “Ki Lurah,” tiba tiba seorang prajurit yang berkuda di sebelahnya berbisik, “Ki Lurah melihat orang berkuda itu?”

      Ki Lurah menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Ya, aku melihatnya. Mudah mudahan hanya karena kita berlawanan arah saja.”

      Prajurit yang bertanya itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun kemudian dia masih sempat berdesis, “Orang itu hanya sendirian, sedangkan kita ada lima belas Prajurit.”

      Ki Lurah yang mendengar desis itu berpaling sambil mengerutkan keningnya, katanya, “Apa katamu tentang para tawanan? Kalau orang itu mampu mempengaruhi kejiwaan para tawanan untuk mengadakan perlawanan, tentu akan sangat merepotkan.”

      Prajurit yang berkuda di samping Ki Lurah itu tertegun. Apa yang dikatakan pemimpinnya itu memang benar. Segera saja prajurit yang berkuda di samping Ki Lurah yang ternyata merupakan wakil Ki Lurah segera memberi isyarat kepada para prajurit yang mengawal para tawanan agar meningkatkan kewaspadaan dan memperketat penjagaan.

      Ketika kemudian rombongan para prajurit itu berpapasan dengan penunggang kuda yang bercaping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya itu, ternyata tidak terjadi peristiwa seperti yang dibayangkan sebelumnya. Penunggang kuda itu hanya mengangkat wajahnya sedikit kemudian selanjutnya berlalu tanpa menimbulkan kesan.

      Ki Lurah masih sempat berpandangan dengan prajurit yang berkuda di sebelahnya. Namun kemudian katanya sambil berpaling ke belakang, “Kita agak berpacu sedikit. Mumpung kita berada di padang perdu yang cukup lapang. Semoga kita bisa mencapai Jati Anom sebelum gelap.”

      Demikianlah akhirnya rombongan para prajurit yang mengawal tawanan untuk dibawa ke Mataram itu telah memacu kuda kuda mereka semakin cepat melintasi padang perdu yang luas.

      bersambung TADBM jilid 403

  34. @ Mas Risang, monggo mbikak gandhok 403

    • Sip mbah, aku ikutan potong pita dan potong tumpengnya….

    • Mbah, Paklik lom mbikak gandok anyar, masih di gembok tuch

  35. Selamat pagi Mbah Man…. Terimakasih rontalnya. Aku msh mencari tempat persembunyian mentrikbelle….ada yg tau gak?

    • Aku dah hadir kog…. cika dah di WA juga

      • Mbak Cika gak mau menyapa embah lagi, gak tau apa salah embah..
        Mungkinkah engkau telah……..?
        heheheheheh

  36. Agung Sedayu itu tidak butuh penawar bisa yg manapun lagi Mbah meski itu Ular Gundala Wereng sekali pun yg telah menggigitnya.Dan Resi Mayangkara ketek itu terakhir hidup di jaman lahirnya Jayabaya, jadi ini Mayangkara serial baru rupanya.

    • Sumonggo Ki,…
      hanya sekedar cerita pengisi waktu..
      Kalau berkenan untuk dibaca ya.. matur suwun.
      kalau tidak berkenan, tidak apa apa, masih banyak cerita di gandhok ini yang bisa dinikmati…
      nuwun

      • mboten parenk duko ki mBah Man….

        xixixixixixixixi……………

  37. Dengen ini dinyataken gadhok 403 dibuka, dengen (tidak) resmi:

    Maaf, tidak ada tulisan yang cocok dengan kriteria Anda

    🙂

    • tulisan yang cocok yang mana ki???

    • lho…., sudah kok 😛

  38. TADBM 403

    Pandan Wangi terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja kesadarannya sebagai seorang perempuan, terlebih seorang perempuan yang sudah bersuami, telah mencegahnya.

    “Kakang Agung Sedayu,” bibir Pandan Wangi hanya berdesah pelan menyebut penunggang kuda yang telah turun dari kudanya dan sedang berbicara dengan para penjaga regol yang agaknya masih mengingat dengan baik siapa Agung Sedayu.

    Agung Sedayu bagi para penghuni Kademangan Sangkal Putung bagaikan keluarga sendiri. Selain memang pada akhirnya adik Untara itu menikah dengan Sekar Mirah, bunga Kademangan Sangkal Putung, namun lebih dari itu, Agung Sedayu bagi mereka adalah seorang pahlawan penyelamat Kademangan Sangkal Putung dari kehancuran ketika sisa sisa laskar Jipang yang dipimpin oleh Raden Tohpati pada waktu itu akan menyerbu dan menduduki Sangkal Putung.

    Sejenak Pandan Wangi justru tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kedatangan Agung Sedayu benar benar telah menggoncangkan jantungnya. Rasa kesepian dan sakit hati karena telah berkali kali dikianati oleh suaminya, Swandaru, telah memunculkan kenangan kenangan indah semasa dirinya masih seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung dalam hubungannya dengan seorang penggembala yang aneh yang bernama Gupita.

    Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu menuntun kudanya menyeberangi halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung yang luas itu, sudut matanya menangkap sesosok bayangan seorang perempuan yang berdiri termangu mangu di samping kanan pendapa.

    Ki Rangga Agung Sedayu sejenak tertegun. Dengan perlahan dihelanya kuda tunggangannya ke samping pendapa. Setelah mengikatkan kudanya pada patok patok yang memang disediakan untuk menambatkan kuda yang terdapat di samping pendapa, dengan perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun menghampiri Pandan Wangi yang masih saja berdiri termangu mangu.

    “Wangi,” pelahan Ki Rangga Agung Sedayu menyapa ketika dia sudah berdiri di hadapan Pandan Wangi, “Engkau terlihat sangat kurus, Wangi.”

    Bagaikan bendungan yang pecah diterjang banjir di musim hujan, Pandan Wangi tak mampu menahan air matanya yang sedari tadi memang sudah mengambang di pelupuk matanya.

    “Wangi,” terkejut Ki Rangga segera mendekati Pandan Wangi, “Apakah kata kataku menyinggung perasaanmu?”

    Pandan Wangi menggeleng perlahan sambil menahan sedu sedannya yang terasa menyumbat tenggorokannya. Sedangkan kedua tangannya masih saja sibuk mengusap air matanya yang terus jatuh berderai derai membasahi wajahnya yang cantik.

    Ki Rangga menarik nafas dalam dalam. Dipandanginya Pandan Wangi yang sedang terisak isak di depannya. Akhirnya dengan memantapkan hatinya, Ki Rangga melangkah semakin dekat, kemudian diraihnya salah satu tangan Pandan Wangi dan dibimbingnya perempuan istri adik seperguruannya itu duduk di tlundak pendapa.

    Ternyata Pandan Wangi tidak menolak. Dibiarkannya saja Ki Rangga Agung Sedayu membimbingnya duduk di tlundak pendapa. Keduanya pun akhirnya duduk bersebelahan sambil berdiam diri. Hanya isak tangis Pandan Wangi yang masih terdengar di sela sela helaan nafas panjang Ki Rangga Agung Sedayu.

    • Matur nuwun Mbah_Man, ternyata sudah TADBM 403 …. tambah semangat !

      • Matur nuwun Mbah_Man, mbaca rapelan TADBM semangkin penasaran.

    • matur nuwun mbah Man..

    • hiks… bisa ngebayangin gmn perasaan pandan wangi… nyesek bgt…
      coba dulu ama agung sedayu, pasti ayem tentrem dan cerah kisah hidupnya..

      • kalau jadian sama agung sedayu gimana sekar mirah Nyi,mosok dikasih ke prastawa nanti tambah runyam.

    • matur nuwun mbah man…. dan pohon yang kokoh pun kembali ditiup angin yang lembut…. hikss.. dinanti kembali lanjutannya mbah.. hehe

  39. mbah man jadi pingin nangis juga mmmmbah….merasakan keringnya hati pandan…..tersisa hanya duri2 tajamnya saja

  40. Asik Mbah Man CLBK hehehehe…

    • CLBK ki rak nek arep pipis… Celanane La Mbok diBukaK…

  41. Hanya ikut nyruput saja
    ……matur nuwun

  42. hmmm mantapppp mbah_man
    Kata mbak Laras
    Cinta Lama Bersemi Kembali
    Deg deg serrr melayang melayang g ya ?

  43. ojo main slingkuh meneh lho…..

    • Ra tau selingkuh kq… cm sekedar tergetar… hiks

  44. Slingkuh juga nggak opo-opo buat vitamin urip, ben tambah berwarna uripe ….


Tinggalkan Balasan ke Jokowono Batalkan balasan